Review
APANAGE
DAN BEKEL
“Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830 – 1920”
Karya : Suhartono
Disusun Oleh
MUHAMMAD RIZAL SETIAWAN (C 0514039)
PROGRAM
STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
APANAGE DAN BEKEL
“Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830 – 1920”
Pada bab I
berisi pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan, tinjauan penelitian,
kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, sumber penelitian dan
ringkasan masalah. Buku ini terdiri dari VI bab. Pemaparan dari bab I yakni
terkait permasalahan yang dijadikan sebagai latar belakang penulisan buku ini
ialah proses eksploitasi agraris di daerah Vorsternlanden yang berhubungan
langsung dengan tanah apanage dan bekel. Masuknya pengaruh Barat ke
pedesaan yang makin intensif dengan kepentingan Kolonial Belanda maka
Pemerintah Kolonial Belanda memerlukan berbagai lembaga sosial dan politik guna
memperlancar politik agrarian Belanda. Mengungkap tentang pola dan corak
perubahan sosial yang terjadi pada pemilikan tanah apanage di karesidenan Surakarta.
Di dalam
masyarakat tradisional mereka menguasai tenanga kerja di tanah apanagenya. Akan tetapi setelah tanah
itu di sewakan kepada pengusaha perkebunan hak-hak yang ada pada patuh beralih
kepada perusahaan penyewa atau landhuurder.
Sistem apanage ini muncul dari
suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Raja atau
penguasa dalam menjalankan peerintahannya di bantu oleh seperangkat pejabat dan
keluarga raja dan sebagai imbalannya maka mereka akan di beri tanah lunguh atau apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan, dan mereka para patuh atau orang yang membantu pekerjaan
raja berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagai hasil dari tanah-tanah apanage ini.
Munculnya
istilah bekel tidak lepas dari sistem
apanage karena seorang pemegan tanah apanage yang tinggal di Ibu kota
kerajaan atau kuthagara tidak
mengarap tanah apanagenya sendiri.
Kemudian seorang patuh mengankat
seorang bekel yang mewakili patuh dan
berfungsi sebagai penebas pajak, bekel juga
mendapat sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak.
Latar
belakang sosial ekonomi di daerah Vorsternlanden yang berupa letak dan ekologi
di daerah itu. Dengan tanah, iklim dan hidrografi yang mempengaruhi tanah apanage di daerah Vorsternlanden itu
sendiri. Dalam bab II ini di bahas keadaan alam ternyata berpengaruh kepada
tanha apanage itu sendiri. Perjanjian
Gianti pada tahun 1755 berdiri dua kerajaan yaitu kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta dan pada tahun 1757 berdirilah Kadipaten Mangkunegara sebagai hasil
perjanjian Solotigo. Di dalam perkembangannya pihak Kerajaan Surakarta atau
Kasunanan makin terikat oleh kontrak-kontrak dengan gubernamen. Namun di sisi
lain dipihak lain Mangkunegara makin banyak mendapatkan kebebasan, khususnya
dibidang perekonomian. Letak karesidenan Surakarta sangat strategis, dan mudah
dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar besar dari Semarang dan
Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi.
Demikian pula jalan kereta api semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun
1864 dan Jalan Trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di perkebunan di
pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang tentunnya sanagat efektif
di masa itu.
Di daerah
Surakarta yang terkenal adalah daerah Sukowati (bagian timur Surakarta) dan
Pajang (bagian barat Surakarta). Daerah Sukowati merupakan daerah yang tidak
terlalu subur tanahnya dan penduduknya juga sedikit. Sebaliknya, Pajang
merupakan daerah subur yang banyak ditanami persawahan dan padat penduduk.
Tanah sebagai sesuatu yang berharga pada saat itu mempunyai peran penting untuk
menciptakan sebuah sistem interaksi sosial masyarakat di sana. Saat itu, raja
merupakan pemilik tanah.
Sistem apanage yang ada timbul dari suatu
konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Didalam
menjalankan pemerintahannya penguasa di bantu oleh seperangkat pejabat dan
keluarganya dan sebagai imbalannya, mereka diberi tanah apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan dan mereka para patuh,
berhak mendapat layanan kerja dan sebagaian hasil dari tanah-tanah apanage. Timbulnya istilah bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem
apanage, karena patuh yang tinggal di
kuthagara tidak mengerjakan apanage yang sendiri ia kemudian mengangkat seorang
bekel. Selain itu, untuk menjalankan
roda pemerintahannya, raja dibantu oleh birokrat yang selanjutnya terdiri dari sentana
dan narapraja.
Status sosial
Masyarakat Surakarta yang terbagi dalam dua golongan sosial yang besar, yaitu
golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah
yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dll. Golongan
priyayi yang terdiri dari para sentana
dan narapraja merupakan sebagian
kecil penduduk terdiri dari golongn penguasa yang berada di atas golongan
sosial besar. Golongan besar ini terdiri dari para sikep dan kuli-kuli lainnya
yang disebut wong cilik. Priyayi mengawasi para sikep karena ia memberi tanah
garapan kepada mereka. Golongan sikep menyediakan tenaga kerja untuk menggarap
tanah-tanah apanage. Bekel sendiri muncul dari system sosial
ini, untuk memperkuat kedudukan, mereka menjalin perkawinan setara gelar yang
di dapat agar bias mengontrol perkembangan politik desa.
Satu
konsekuensi sistem apanage adalah
distribusi tanah yang tidak merata dan sama luasnya. Hal ini berkaitan dengan
jauh dekatnya hubungan kekerabatan patuh dengan
raja dan tinggi rendahnya jabatan elite birokrat. Membagi tanah apanage untuk para elite birokrat jauh
lebih mudah karena dapat diseragamkan menurut pangkatnya. Namun ada kesulitan
dalam memetakan tanah-tanah apanage karena
tidak ditemukan catatan yang lengkap. Selain itu, kedudukan tanah apanage sangat labil, dan setiap kali
tanah itu berganti pemegannya. Untuk menjaga kestabilan politiknya, raja dapayt
menambah atau mengurangi apanage, tetapi
tindakan raja ini akan menimbulkan rasa ketidak puasan bagi para patuh. Di Kasunanan tanah-tanah apanage disewakan pada perusahaan
perkebunan dan di Mangkunegaran sudah lebih dulu dirintis pembebasan apanage dan diusahakan agar tanah-tanah
itu dimanfaatkan untuk tanaman perdagangan. Namun situasi di pedesaan pad
umumnya masih belum berubah karena masih terjadi pemerasan, pemaksaan dan
sejenisnya oleh para patuh. Tanah-tanah
apanage masih menimbulkan kesulitan
dan kesengsaraan.
Di masa itu
upeti dan pajeg sangat riskan di pungut pembayaran pajak berbentuk uang atau
barang. Pembayaran di bumi pangrembe dilakukan dengan maro hasil dan di bumi
pamajegan di bayar dengan uang dengan perhitungan satu real setiap jung (1
reaal = f2,80). Jenis pajak yang terpenting ialah pancumpleng semacam sewa
tanah. Meskipun besarnya pajak hanya seperenam atau sepertujuh, tetapi karena
setiap cacah harus membayar, jumlah keseluruhan menjadi besar. Di beberapa
tempat berlaku pajak untuk pohon buah-buahan sebagai ganti pancumpleng.
Punduthan atau
pajak yang merupakan permintaan patuh pada
upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Patuh membuat suatu pajak bekti gunanya untuk menambah loyalitas
para penyewa tanahnya. Bekti timbul sebagai konsekuensi dari penrsewaan tanah
sehingga penyewa harus membayar pajak tambahan yang di tentukan oleh para patuh. Membayar bekti di gunakan agar
sewa tanh tetap lanjut tetapi apabila ada yang membayar bekti lebih banyk dari
seharusnya maka akan di pastikan tidak aka nada pergantian penyewa. Apabila
pembayaran bekti di anggap layak maka akan di buat suatu perjanjian yang di
sebut piagem. Pembayaran bekti dari penyewa kepada patuh berlangsung sampai adanya Peraturan Persewaan Tanah pada
tahun 1918. Tetapi dalam prakteknya pemilik dan penyewa sama-sama untung dan
tetap di lanjutkan.
Salah satu
dampak yang muncul adanya sistem apanage ini adalah perang desa. Hal
tersebut bisa terjadi karena letak tanah apanage yang tidak jelas atau
simpang siur. Selain itu, pengangkatan dan pemberhentian bekel juga
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perang desa. Adanya berbagai
macam tumbuhan seperti alang-alang, rumput, bambu, dan lain sebagainya yang
menguntungkan secara ekonomis selalu diperebutkan oleh desa-desa sekitar.
Selain itu, dampak lain yang muncul adalah terjadinya perampokan oleh desa yang
kuat terhadap desa yang lemah. Perang desa tersebut pernah terjadi di desa
Wedi, Jiwonalan, Cepoko, dan lain sebagainya.
Terlebih lagi
apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, maka akan berdampak pada
struktur sosial. Artinya kehidupan yang baik hanya dihadapi oleh priyayi,
sedangkan wong cilik hanya makan nasi dan gereh. Meskipun
demikian, masyarakat semakin berkembang dengan bukti adanya pembuatan kerajinan
berupa batik yang bisa dijual ke luar daerah. Menariknya, sistem barang-barang
yang dijual berdasarkan pada pasaran. Artinya barang-barang tertentu
akan dijual pada hari-hari tertentu dan di pasar tertentu pula. Hal ini
dilakukan supaya ada distribusi ekonomi yang merata di setiap daerah.
Membahas
kembali mengenai bekel, banyak terjadi hal-hal yang boleh jadi
menyimpang dari piagem. Bekel yang seharusnya memberikan
pajak kepada patuh terkadang tidak sesuai dengan target yang
diinginkan. Hal tersebut bisa terjadi karena sikep tidak bisa memenuhi
pasokan sehingga pajaknya juga berkurang atau juga bisa karena pasokan tersebut
sebagian diambil oleh bekel sebelum sampai ke patuh. Seperti
halnya patuh dan raja, bekel juga mempunyai kekuasaan yang
didasarkan atas kepemilikan (penguasaan) tanah.
Selain itu, sikep
mengakui bekel sebagai patronnya dan begitu juga sebaliknya.
Hal ini bisa terjadi karena loyalitas sikep kepada bekel.
Pada musim paceklik misalnya, sikep akan meminta pinjaman kepada bekel
karena bekel dianggap sebagai orang yang kaya. Terlebih lagi bekel
mempunyai kebebasan yang sangat luas dan mereka hanya akan tunduk kepada
atasannya ketika pembayaran pajak dan upeti kepada raja. Untuk memperkuat
status sosialnya, bekel biasanya melakukan hal tersebut melalui ikatan
perkawinan dengan kepala-kepala diatasnya.
Dalam
perkembangan politik di Surakrta khususnya dan di Vorsternlanden umunya terjadi
dalam bab III di jelaskan bahwa perkembangan politik muncul pada saat perang
diponegoro. Dalam bab ini di jelaskan bahwa perluasan ekonomi colonial
manimbulkan usaha untuk melakukan transformasi politik. Dilakukanya
transformasi politik di pedesaan ini karena perubahan kedudukan tanah apanage, yang semula di kuasai oleh patuh kini beralih ke penyewa asing.
Untuk daerah
Kasunanan sistem apanage dimulai sejak palihan nagari pada tahun 1755, dan
untuk daerah Mangkunegaran sejak diadakannya perjanjian Solotigo pada tahun
1757. pembagian tanah apanage tidak berdasarkan atas wilayah kerajaan yang
membawahinya, tetapi letaknya tumpang paruk atau simpang siur. Banyak tanah
apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan birokrat kasunanan yang
terletak di Mangkunegaran atau didaerah Kasultanan. Keadaan yang seperti ini
menyulitkan penyewa tanah-tanah apanage, baik dari segi manajemenya maupun
keamanannya. Oleh karena itu pemerintah kolonial sedikit demi sedikit melakakan
penyederhanaan sistem apanage dengan pembaharuan persewaan tanah maupun
penghapusan tanah apanage itu sendiri.
Masyarakat
pedesaan dalam keadaanya melakukan partisipasi dan adaptasi terhadap tujuan
politik kolonial, maka secara tidak langsung kelompok masyarakat di tuntut
untuk masuk secara cepat pada pemerintahan kolonial. Di Vorsternlanden,
berlakunya system apanage berarti
masih dipertahankannya lembaga-lembaga yang secara tradisional di akui dan
didukung keberadaannnya di dalam masyarakat agraris.
Perubahan sosial di
masyarakat sangatlah jelas terjadi tentunya dengan beberapa kejadian di
pedesaan, lalu mulai munculnya reorganisasi tanah agraria, dll. Ini menunjukan
bahwa pada bab IV ini maka akan di bahas kondisi yang ada di pedesaan di daerah
Surakarta tentunnya karena pada dasaernya pedesaan yang awalnya aman menjadi
kurang aman karena munculnya gangguan dari pencuri, begal, dan kecu. Reeorganisasi
merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan
sebagai majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga
penekanan pada petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai
fungsionaris polisi, sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain
reorganisasi tersebut akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses
monetisasi semakin lancar.
Dengan demikian
ekstraksi lama tetap berjalan disatu pihak, dan intensifikasi ekstraksi
berlangsung sesuai dengan kemajuan penetrasi kolonial dan komersialisasi di
pihak lain. Perubahan-perubahan itu mempercepat runtuhnya kelembagaan desa.
Dukungan dari beberapa teori perlu dicocokan kebenarannya terutama korelasi
antara perubahan kedudukan tanah dan pemerintahan desa dengan proses
komersialisasi dan monetisasi.
Proses reorganisasi
adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di pedesaan. Reorganisasi
peradilan yang dilakukan sebelumnya guna menunjang keamanan bagi usaha-usaha
swasta ternyata belum cukup menjamin. Oleh karena itu, diperlukan reorganisasi
agraria, yaitu dengan menghapus tanah apanage agar ada kepastian usaha bagi
modal swasta, termasuk penyederhanaan manajemennya.
Perubahan kekuasaan
bekel secara resmi baru dilakukan bersamaan dengan reorganisasi tanah dan
pembentukan pemerintahan desa pada tahun 1912 untuk desa kejawen, tahun 1917
untuk desa perkebunan. Desa-desa kejawen yang terdiri dari beberapa kabekelan
dihapus, dan dibentuk kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah desa atau
kepala desa.
Pada dasarnya terdapat
persamaan wewenang bekel denagn lurah, tetapi wewenang lurah dipersempit pada
urusan administrasi dan pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah
colonial mempunyai pegangan kuat terhadap desa-desa dalam rangka mengubah
system apanage ke industrialisasi agraris. Dengan kata lain, kelurahan
mempunyai wewenang nyata untuk mengatur desa-desa guna mendapatkan tanah dan tenaga
kerja melalui persewaan dan kontrak individual.
Transportasi dan
mobilisasi merupakan dampak dari peningkatan agro-industri. Mobilisasi mencakup
perpindahan secara geografis dari satu tempat ke tempat lain yang ditunjang
oleh transportasi modern yaitu kereta api, sedangkan perpindahan secara sosial
berupa perubahan status sosial ke atas. Kedua bentuk mobilitas itu tidak dapat
dilakukan sepenuhnya oleh petani karena ada beberapa hambatan. Mobilitas
geografis petani terbatas pada territorialnya dan kemampuan finansialnya,
sedangkan mobilitas ke atas sengaja ditekan agar tetap tersedia tenaga kerja
guna memperoleh ekstraksi secara maksimal.
Pedesaan daerah
Surakarta hadiningrat dan Vorsternlanden mengalami keresahan yang cukup membuat
Pemerintahan Kolonial kelimpungan dalam bab V ini akan di keresahan-keresahan yang terjadi mengarah
kepada gerakan sosial. Kondisi ini tak lepas dari suatu kondisi ekonomi yang
terjadi, melalui tekanan pajak yang mencekik, beban ikatan feodal dengan
pemerintahan Kolonial dan juga kerajaan atau keraton.
Hambatan
agro-industrialisasi yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang
terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa keberatan. Selain itu
ekstrasi kolonial juga dihambat oleh banyaknya kerusuhan di desa. Gangguan ini
terasa sekali pada waktu krisis pertanian yang mengakibatkan : pertama, banyak
perusahaan perkebunan menutup usahanya yang berarti terjadi pemutusan hubungan
sewa-menyewa tanah, kedua proses pemiskinan para patuh semakin cepat. Keadaan
tersebut menyulitkan kedudukan perusahaan perkebunan, namun jika perusahaan
perkebunan berhasil mengatasinya para patuh akan tergantung hidupnya pada
perusahaan tersebut. Hal ini yang dipakai alasan oleh pemerintah kolonial untuk
segara melaksanakan reorganisasi.
Reeorganisasi merupakan
kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai
majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga penekanan pada
petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi,
sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain reorganisasi tersebut
akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses monetisasi semakin lancar.
Gerakan ratu adil
merupakan kontra-ideologi terhadap raja sebagai pengasa yang sudah tentu
mengancam kedudukan penguasa. Tak lepas dari penangkapan seorang guru ilmu
sejati dan ilmu kebal yang mengaku sebagai titisan imam mahdi atau ratu adil
yang mengharuskan semua pengikutnya memakai jimat karean jika tidak maka akan
terjadi huru hara.
Menurut lokasi kejadiannya, keresahan sosial
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu di pusat kerajaan dan di pedesaan. Sungguhpun
demikian, kedua lokasi itu tidak dapat dipisahkan karena keresahan yang
mula-mula timbul di istana, setelah meletus sebagai gerakan, beralih kepada
dukungan priyayi di pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan
seperti perkecuan, pencurian, pembegalan, pembakaran, dan pembunuhan, serta
gerakan sosial keagamaan mengambil tempat di pedesaan karena petani meupakan
sebagian besar korban modernisasi sehingga gerakan yang timbul selalu didukung
oleh petani.
Kasus-kasus gerakan
sosial yakni Gerakan Mangkuwijoyo yang berlangsung pada tahun 1865 gerakan ini
di pimpin oleh R. Mangkuwijoyo yang mendapat ilham untuk mendirikan kerajaan
baru di daerah klaten dengan gelar sunan adil atau ratu adil karenanya dia di
tangkap beserta 15 pengikutnya karena di anggap melakukan pemberontakan. Gerakan
Srikaton yang terjadi di tahun 1888 pergerakan ini di pimpin oleh seorang anak
dari bekel yaitu Imam Rejo alias
Sariman dia bertapa di alas ketongo lereng gunung lawu di ngawi dia mendapat
ilham untuk membuat kerajaan baru guna mengantikan kerajaan yang lama yang
sudah tidak aktif lagi. Dia mewajibkan pengikutnya untuk mengikuti kemauannya
dan jika tidak mau maka pengikutnya akan di buang ke laut imam sendiri bergelar
Imam Sampurno Jenal Ngabidin. Rupanya para bekel
sangat mendukung buktinnya bekel yang
paternalistic sebagai pelindung petani masih kuat sehingga tidak heran jika
mereka berpihak pada gerakan itu.
Pergerakan
ini memicu banyak kejahatan di pedesaan yang tentunya meresahkan yaitu Kecu
atau perampok bersenjata di malam hari yang tak segan untuk membunuh Koran,
begal kelompok kecil kurang dari 5 orang
yang merampas para korban pada siang dan malam hari biasanya korbannya ialah
pedagan di pasar yang inggin berangkat berdagang di pasar, walau nilai atau
barang yang di ambil cukup minim tetapi sangat meresahkan para pedangang.
Kebakaran yang di lakukan sebagai protes petani kepada perusahaan yang
merugikan petani. Pencurian hewan, pembunuhan terjadi semakin sering dan
mengakibatkan warga pedesaan resah.
Keresahan
dan ketidak puasan ini khusunya merupakan akibat perubahan sosial ekonom
kolonial yang intensif di sector agrarian. Wajar jika dalam kondisi ini secara
objektif muncul perubahan baru dalam masyarakat sebagai akibat pada perubahan
sebelumnya. Timbulnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari faktor
kepemimpinan yang mesianistik.
Akhir
dari suatu system apanage dan bekel di paprkan pada bab VI yang berisi
kesimpulan penghapusan apanage dan
juga paranan bekel. Perluasan
perusahaan perkebunan menghadapi hambatan yang berupa sistem apanage. Sistem
ini adalah kendala bagi proses industrialisasi dan komersialisasi yang sedang
dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebab tanah dan tenaga kerja ada dalam
ikatan tradisional yang tidak cocok bagi pengembangan ekonomi kolonial. Oleh
karena itu diperlukan pembebasan tanah dan tenaga kerja yang menuntut
diadakanya reorganisasi agraria. Jadi tujuan reorganisasi adalah pembebasan
tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Peranan bekel di dalam system apanage , bekel memiliki fngsi ekonomi yaitu sebagai penebas pajak tetapi di
rubah menjadi kepala desa. Sebagai pempinan komonitas sebenarnya bekel sudah mempunyai kekuatan meskipun
terbatas dalam komonitasnya saja.
Kemudian komonitas di perluas ke desa-desa di kabekelan dan akhirnya meliputi
satu kelurahan.
SIMPULAN
Dalam
buku ini cukup lengkap megulas tentang sistem apnage dan bekel, khususnya di
daerah Surakarta. Baik dari pelestarian sistem feodal tanah Jawa yang sudah
trun temurun demi kepentingan pemerintah kolonial, maupun penghapusan sistem
ini. Tanah sudah menjadi satu rangkaian atau hal yang sangat penting bagi Raja,
Priyayi maupun kawulo (rakyat jelata), karena ini adalah sumber kekuasaan,
prestis dan mata pencaharian. Dalam buku ini memaparkan bahwa munculnya istilah
bekel tidak lepas dari sistem apanage karena seorang pemegan tanah apanage yang tinggal di Ibu kota
kerajaan atau kuthagara tidak
mengarap tanah apanagenya sendiri.
Kemudian seorang patuh mengankat
seorang bekel yang mewakili patuh dan
berfungsi sebagai penebas pajak, bekel juga
mendapat sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak. Lalu struktur
sosial ekonomi yang sangat menonjol di kala itu dari bekel yang berupa penebas pajak di angkat menjadi kepala desa,
keresahan di masa itu juga di jelaskan secara rinci dan menarik.