Kamis, 18 Februari 2016

GADAI TANAH (SENDE)
A.    Pengertian SENDE
Terdapat berbagai istilah untuk menyebut tanah Sende, di Jawa yaitu Gadai tanah dan Jual tanah dengan perjanjian beli kembali. Gadai tanah merupakan suatu perjanjian tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai dengan kesepakatan yaitu bahwa seorang penyerah tanah berhak mendaptkan kembali tanah dengan jalan membayarkan sejumlah uang yang sama dari orang yang menerima gadainya. Gadai tanah sendiri meiliki dua kebijakan beli kembali dan jual lepas, jual lepas sendiri memiliki pengertian pemindahan hak milik, dan Beli kembali memiliki pengertian saat terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak tanah akan dibeli kembali dengan jangka waktu tertentu. Dua istilah yang terpaparkan tersebut perjanjian gadai tanah lebih sesuai karena perjanjian ini dijadikan perjanjian tunggal dan banyak dipakai oleh para pegadai tanah. Gadai tanah sendiri memiliki peraturan jika tidak dientukan jangka waktu pengadaian tanah, maka orang yang memberi uang guna mengambil gadai tanah tersebut akan mendapatkan hak penuh atas tanah yang di gadaikan oleh pemilik sebelumnya.
B.     SENDE (gadai tanah) dalam tinjauan histoeris
·         Gadai tanah pada masa kuno
Gadai tanah sudah dikenal dalam masyarakat kuno dan dapat di buktikan dalam sebuah prasastri Jawa kuno. Gadai pada masa lampau biasa dikenal dengan istilah sanda, menggadaikan barang pada masa Jawa kuno di sebut ananda / anandaken, tergadai mendapat istilah sinandan / kasanda, sedangkan barang yang di gadaikan disebut sasandan, kata ini bias di satukan menjadi suatu kata baru yang dapat di artikan yakni sebagai contoh imah sasanda yang berarti tanah yang masih tergadai. Tulisan atau istilah tersebut terdapat pada prasasti Panggumulan B yang di temukan 825SM, dan di prasati ini juga dikatakan seorang I Wantil pu Palaka menebus tanah milik para pejabat desa di daerah Panggumulan yang tergadai pembeli sawah di Panilman seharga 3 kati perak. Prasasti yang selanjutnya di temukan adalah prasasti Panggumulan II pada tahun 903M, menyebutkan bahwa Pu Palaka menebus tanah dari Dapunta Prabu dan Dapunta Kaca seharga 3 kati perak.
Prasasti Harahura pada tahun 966 M, Bendosari dan Manah I Manuk yang berasal dari majapahit adalah prasati yang menyebutkan tentang seorang Mpu yang mengadaikan tanahnya dan kemudian di tebus kembali. Masalah gadai tanah sendiri sudah di cantumkan dalam kitab perundang-undangan yang di buat oleh Majapahit, di dalam kitab tersebut terdapat istilah kedaluwarsa yang berarti saat transaksi gadai tidak di tebus samapai batas waktu yang ditentukan, yang berakibat hak barangnya akan jatuh ke tangan penggadai sehingga gadai tersebut dapat dijual oleh penggadai. Tetapi ada barang yang jika di gadai tidak akan menjadi hak milik dari sang penggadai barang tersebut adalah tanah karena tanah tersebut secara khusus adalah milik raja dan rakyat hanya memanfaatkan hasil potensi tanah tersebut, maka dari itu tanah pada masa Jawa Kuno adalah barang yang tidak bisa habis masa penebusannya dan tidak akan kadaluarsa karena tanah tersebut bisa di tebus kapan pun.
·         Gadai tanah sebelum UUPA
Di Surakarta perjanjian gadai tanah telah diatur dalam Rijkbal No.10 Bab 15, 1938 dan Rijkbal tahun 1941 nomor 12. Pada tahun 1938 Rijkbal yang di susun berisi bahwa penduduk yang memiliki tanah garapan dengan wewenang memakai secra turun-temurn diberi hak untuk menggadaikan tanah garapanya. Penggadaian tanah sendiri hanya boleh dilakukan dengan alasan tertentu dan hanya boleh di gadaikan kepada penduduk kasunanan yang sudah lama tinggal di wilayah kasunanan. Sementara untuk melakukan gadai tanah secara adat pemilik hak guna tanah yang akan di gadaikan harus sepengetahuan dari lurah, sesepuh desa atau kepala dusun dan penghulu. Disahkannya gadai tanah akan di bicarakan dan di umumkan oleh penegak adat masing-masing dusun.
Jika perjanjian gadai tanah diadakan tanpa sepangetahuan kepala suku, maka perjanjian itu tidak akan dilindungi secara hukum, dan perbuatan tersebut dianggap tidak sah, tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan si penerima gadai dan dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah gadaian tersebut. Kebanyakan perjanjian gadai tanah dibuat secara tertulis di dalam “akte” yang berisi pernyataan dari pemilik tanah yang menyatakan bahwa dia menjual tanah pertanian atau menggadaikan tanah, beserta nama penjual, batas-batas tanah yang dijual, nama pembeli, harga tanah, perjanjian bahwa tanah dapat ditebus kembali dengan harga sejumlah uang yang sama kala seorang pembeli membayara secara tunah tanah tersebut, dengan di tandatangani oleh kedu belah pihak beserta saksi. Kemudian surat akte diserahkan kepada pembeli gadai.
Tanah sende pada masa lamapau memiliki fungsi sebagai pengikat sosialisasi serta gotongroyong anatar manusia, pada masa colonial sende didasarkan atas hubungan batin atau kekeluargaan dan gotong royong sehingga bebenya masih ringan, kemudian pada masa penjajahan pemerintah colonial lebih ikut campur dalam sende sehingga mengacaukan pola penguasaan tanah yang turun temurun dalam keadaan guyup rukun, pada masa setelah kemerdekaan lembaga hukum adat seperti sende masih tetap ada akan tetapi dengan berubahnya hubungan batin menjadi hubungan pamrih, berdamapak pada melemahnya petani yang semakin meningkat semakain lemah karena tanah garapanya berkurang sedangkan yang membutuhkan semakin banyak. UUPA tahun 1960 adalah undang-undang yang menjadikan petani lebih aman karena transaksi tanah sende diatur dalam PERPU 56 tahun 1960 pasal 7 yang menetapkan bahwa gadai tanah pertanian yang berlangusung 7 tahun atau lebih harus di kembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan.
·         Gadai tanah setelah UUPA
Tanah meupakan satu modal untuk mengatur kebijaksanaan pemerintah yang mantap untuk dimanfaatkan bagi kemajuan ekonominya. Perjanjian gadai tanh umumnya terjadi karena pemilik membutuhkan uang tunai. Apabila ia tidak dapat mencukupi kebutuhannya dengan jalan meminjam uang maka pemilik tanah  akan dengan mudahnya menjadikan tanah miliknya sebagai tanah yang di gadai guna menghidupi kehidupannya sehari-hari. Dalam pengadaian tanah lamanya proses gadai atau pakai sang penerima gadai tergantung pada usah tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan jumlah tahun dan seringkali harga tanah dalam tradisi gadai hanya sejumlah uang yang sesuai dengan kebutuhannya kala itu, tentunya tidak memikirkan efek kedepannya. Maka untuk melindungi golongan petani yang ekonominya lemah, dikeluarkannya undang-undang yang mengatur pertanahan di Indonesia yaitu UUPA tahun 1960. Akhirnya tanggal 24 September 1960 UUPA yang mengatur tentang pertanahan memasukan gadai tanah ke dalam golongan hak-hak yang sifatnya sementara dan secara beransur-angsur akan dihapus dan undang-undang yanag melarang penyerahan hak penguasaaan tanah dengan cara gadai pada pasal 7 tentang penetapan luasa tanah atau lahan pertanaian. Dalam UUPA Pasal 53, menyatakan bahwa gadai tanah, bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian, dalam waktu singkat akan diusahakan untuk menghapusnya karena sifat-sifat daripada hak-hak tersebut bertentangan dengan undnag-undang agrarian nasional karena hak-hak tersebut mengandung unsure pemerasan. Peraturan-peraturan dalam gadai tanah diabaikan, karena belum danya kesadaran hukum karena penduduk merasa jika menetapi aturan-aturan banyak halangannya, denganprosedur yang berbelit-belit, mebuang tenaga, membuang uang atau biaya pengutan-pungutan tambahan dna memakan wkatu yang lama, padahal gadai tanah diadakan karena adanya kebutuhan akan uang tunai secara mendesak yanag harus segera dipenuhi.
C.    KESIMPULAN

Gadai tanah merupakan penjualan semntara waktu yang telah diatur sejak masa hindu budha hingga sekarang. Sejak masa kuno hingga sekarang gadai tanah lebih banayak menggunakan atuaran adat. Dalam perkemangannya di zaman modern gadai tanah tetap diminati masyarakat kerana kemudanhannya tanpa prosedur yang berbelit-belit. Penebusan tanah tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan tanah sehingga seringkali terjadi gadai tanah yang berlangsung berpuluh-puluh tahuna, penggadaian tidak mampu menebus tanahnya, dank arena itu untuk melindungi golongan petani di perlukan undang-undang yang kuat dn mengikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar