Selasa, 09 Februari 2016

TANAH DALAM KEHIDUPAN KERAJAAN HINDU-BUDHA

TANAH DALAM KEHIDUPAN KERAJAAN HINDU-BUDHA

 

 

            Tanah bagi penduduk di Pulau Jawa adalah sumberdaya alam yang sangat penting karena menjadi sandaran kehidupan perekonomian mereka. Beberapa kerajaan besar yang pernah ada di Pulau Jawa adalah kerajaan yang berlokasi di pedalaman dan bercorak agraris. Hal ini didukung kondisi geografis Pulau Jawa yang memiliki tanah yang subur sehingga sangat menguntungkan jika dipergunakan sebagai lahan pertanian. Di samping memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tanah juga memiliki nilai sosial yang tak kalah pentingnya. Arti penting tanah terutama dari sudut pandang nilai sosialnya,banyak diungkapkan dalam prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa, salah satu diantaranya yang berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuna. Pada kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Pulau Jawa, istilah yang dipakai untuk memaknai nilai penting tanah adalah sima (daerah perdikan).
            Kerajaan-kerajaan Jawa pada masa lampau, baik pada masa pengaruh agama Hindu-Budha, maupun pada masa pengaruh agama Islam, menganut satu asumsi bahwa raja adalah pemilik segala sesuatu baik yang bergerak maupun tidak bergerak di kerajaannya, termasuk tanah. Rajalah yang berhak menggunakan tanah di wilayahnya baik untuk kepentingannya sendiri maupun untuk kepentingan rakyatnya.Dalam tradisi Jawa, penguasa merupakan pemilik dari semua tanah dan penduduk (yang kemudian difungsikan sebagai pekerja) yang berada di atasnya.
            Pada abad VI M-XIV M, penggunaan tanah kerajaan yang sangat mencolok adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.Tanah-tanah itu biasanya kemudian disebut tanah perdikan yang memiliki fasilitas-fasilitas khusus dari kerajaan. Dalam beberapa prasasti yang sudah diinterpretasikan sampai saat ini, setidaknya ada empat alasan sebuah daerah dijadikan daerah perdikan, yaitu:
  1. Alasan kegamaan, jika di daerah itu terdapat bangunan suci keagamaan seperti candi sehingga masyarakat di sekitarnya diwajibkan untuk memelihara bangunan itu dengan imbalan daerahnya dijadikan daerah perdikan.
  2. Alasan kesakralan, jika di daerah itu terdapat bangunan suci yang disakralkan seperti candi pendharmaan, petirtaan, pertapaan, dan lain-lain.
  3. Alasan politik, jika daerah atau tanah itu diberikan raja pada seseorang yang dianggap telah berjasa pada raja atau kerajaan.
  4. Alasan sosial ekonomis, jika di daerah itu terdapat bangunan yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti jembatan, tanggul air (bendungan), dan lain-lain.

Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, khususnya yang berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuna, sebagian besar berisi keputusan penetapan suatu wilayah menjadi sebuah daerah sima atau perdikan, misalnya Prasasti Rukam (829 C atau 906 M) yang berasal dari masa pemerintahan Raja Balitung.Prasasti ini juga mengemukakan pembagian wilayah kerajaan dengan disebutkannya wilayah kutagara atau negeri ageng.Prasasti Rukam berisi keputusan Raja Balitung untuk menjadikann Desa Rukam yang terletak di wilayah kutagara atau negeri ageng yang telah hancur oleh letusan gunung berapi sebagai daerah perdikan bagi neneknya. Hasil tanah di Desa Rukam itu dipersembahkan untuk kepentingan bangunan suci yang akan dibangun di atasnya. Di samping berisi tentang penetapan sima, prasasti masa kerajaan Mataram Kuna megungkapkan fakta lain yang menguatkan indikasi penguasaan tanah oleh penguasa. Prasasti Luitan (823 C atau 900M) berisi tentang pengaduan penuduk Desa Luitan kepada Rakrayan Mapatih I Hino karena tidak sanggup memenuhi pajak yang ditentukan kerajaan.Prasasti ini juga menyebutkan adanya upacara pemberian persembahan kepada pejabat kerajaan yang hadir dalam peresmian prasasti yang berisi tentang keputusan luas tanah dan pajak yang harus diserahkan.Dari prasasti ini dapat diketahui bahwa setiap upacara penetapan prasasti selalu diikuti dengan penyerahan persembahan kepada pejabat kerajaan.
            Dari dua prasasti tersebut, menunjukkan bahwa pada abad X M, tanah sudah menempati posisi yang penting dan juga sebagai sumber pendapatan bagi kerajaan.Di samping itu nilai sosial tanah juga cukup tinggi sehingga untuk menghormati nenek moyangnya, seorang raja dapat menetapkan daerah sima sebagai persembahan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan kehidupan religinya (dalam hal ini dengan dibangunnya sebuah candi persembahan yang harus dirawat oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah itu).
            Prasasti-prasasti di atas memang tidak menyebutkan secara eksplisit  tentang arti penting tanah baik ditinjau dari sudut pandang ekonomi maupun sosial. Namun, dapat disimpulkan bahwa tanah adalah sumber daya alam yang penting yang keberadaannnya di bawah kekuasaan raja.Hal ini menjadikan seorang raja memiliki kekuasaan untuk memberikan tanah-tanah di wilayah kerajaannya kepada orang yang dianggapnya telah berjasa kepadanya.Keterangan ini semakin menegaskan suatu kondisi bahwa penguasaan tanah oleh raja atau kerajaan telah berlangsung lama.Penguasaan ini kemudian berimplikasi terhadap pola pembagian tanah yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, dalam hal ini kerabat dekat raja, pejabat kerajaan, atau orang-orang yang berjasa terhadap raja dan kerajaan.Hal ini juga secara tidak langsung menegaskan bahwa sejak jaman dahulu, rakyat biasa tidak memiliki hak milik atas tanah, namun hanya berstatus sebagai penggarap saja.Mereka tidak dapat dilepaskan dari tanah garapannya, sehingga jika raja menganugerahkan sebidang tanah pada seseorang, hal ini berarti bahwa orang tersebut juga menguasai sumberdaya manusia yang hidup di atasnya yang dimanfaatkan sebagai pekerjanya.Pada masa Kerajaan Mataram Kuna belum diketahui keberadaan tanah lungguh yang berfungsi sebagai tanah jabatan, karena memang indikasi pembagian tanah oleh raja kepada rakyatnya (termasuk kerabat dekat dan pejabat kerajaan), baru terlihat dalam bentuk penetapan sebuah daerah menjadi sima atau desa perdikan.
            Sistem pemberian tanah pada masa Kerajaan Majapahit digambarkan dalam Prasasti Telang (903 M).Prasasti ini menyebutkan bahwa pada daerah sima, pajak yang dipungut dibagi tiga bagian yaitu untuk manilala drabya haji atau petugas pemungut pajak kerajaan, untuk dharma atau kepentingan bangunan suci, dan untuk orang yang bertugas merawat atau menjaga dharma. Keterangan ini merupakan salah satu cara pengelolaan hasil pajak pada masa Kerajaan Majapahit yang diketahui dari prasasti. Dalam beberapa prasasti juga muncul suatu asumsi bahwa jika suatu daerah tidak ditetapkan sebagai daerah sima, maka hasil pungutan pajak setelah dikelola kerajaan, sebagian daripadanya dibagikan kepada pejabat kerajaan yang tidak mendapat tanah dari kerajaan. Dengan demikian pada masa Kerajaan Majapahit terdapat dua kelompok pejabat kerajaan yaitu:
  1. Pejabat kerajaan yang menerima sima dengan segala fasilitasnya. Sima ini tidak diberikan kepada semua birokrat kerajaan, namun hanya pada birokrat-birokrat tertentu yang memiliki jasa-jasa khusus pada raja, keluarga raja, atau kerajaan. Kelompok pejabat kerajaan yang menerima sima ini menerima sepertiga dari hasil pajak yang diperoleh dari sima tersebut (dalam beberapa prasasti barangkali merekalah yang dimaksud dengan manilala drabya haji).
  2. Pejabat kerajaan yang tidak menerima sima. Kelompok birokrat ini menerima kompensasi khusus dari kerajaan. Di samping itu, kelompok birokrat ini juga menerima pembagian hasil pajak wilayah yang menjadi wewenangnya, yang kebetulan tidak berstatus sima, setelah pajak itu dikelola oleh pihak kerajaan.
Pada hakekatnya hukum Majapahit juga mengatur segala aturan tanah. Meskipun tidak jelas bentuknya, namun kiranya dapat ditarik satu kesimpulan bahwa tampaknya tanah berada dalam kekuasaan desa (hak desa).Meskipun tanah itu diminta oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan untuk digunakan atau dijadikan sebagai daerah sima, tanah itu tetap harus dilepasakan terlebih dahulu dari kekuasaan desa.

Pada masa Kerajaan Majapahit sebagaimana masa kerajaan-kerajajan Hindu-Budha di nusantara, di samping kitab hukum formal, prasasti juga dianggap memiliki kekuatan hukum yang cukup tinggi. Di Kerajaan Majapahit, beberapa prasasti yang diterbitkan raja-rajanya mengungkapkan tentang persoalan seputar tanah. Prasasti Jayanegara I (1316 M) menyebutkan tentang penganugerahan tanah perdikan kepada penduduk Blambangan oleh Raja Jayanegara karena telah berjasa membantu kerajaan memadamkan api pemberontakan yang terjadi di daerah Blambangan. Dalam prasasti ini memuat keterangan tentang tanah perdikan yaitu bahwa setelah ditetapkan sebagai tanah perdikan persukuan Tanah-Air yang diberi anugerah itu diperkenankan memungut hasil tanah yang dulunya menjadi hak raja.Prasasti Sendang Sedati (1463) menyebutkan bahwa raja Diah Suraprawa menganugerahkan tanah perdikan Pamintihan kepada hambanya yang bernama Aria Surung karena kesetiaan dan keberaniannya memberantas kejahatan yang sedang berkembang di Kerajaan Majapahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar