TANAH DALAM KEHIDUPAN KERAJAAN HINDU-BUDHA
Tanah bagi penduduk di Pulau Jawa adalah sumberdaya alam yang sangat penting karena menjadi sandaran kehidupan perekonomian mereka. Beberapa kerajaan besar yang pernah ada di Pulau Jawa adalah kerajaan yang berlokasi di pedalaman dan bercorak agraris. Hal ini didukung kondisi geografis Pulau Jawa yang memiliki tanah yang subur sehingga sangat menguntungkan jika dipergunakan sebagai lahan pertanian. Di samping memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tanah juga memiliki nilai sosial yang tak kalah pentingnya. Arti penting tanah terutama dari sudut pandang nilai sosialnya,banyak diungkapkan dalam prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa, salah satu diantaranya yang berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuna. Pada kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Pulau Jawa, istilah yang dipakai untuk memaknai nilai penting tanah adalah sima (daerah perdikan).
Kerajaan-kerajaan Jawa pada masa
lampau, baik pada masa pengaruh agama Hindu-Budha, maupun pada masa pengaruh
agama Islam, menganut satu asumsi bahwa raja adalah pemilik segala sesuatu baik
yang bergerak maupun tidak bergerak di kerajaannya, termasuk tanah. Rajalah
yang berhak menggunakan tanah di wilayahnya baik untuk kepentingannya sendiri
maupun untuk kepentingan rakyatnya.Dalam tradisi Jawa, penguasa merupakan
pemilik dari semua tanah dan penduduk (yang kemudian difungsikan sebagai
pekerja) yang berada di atasnya.
Pada abad VI M-XIV
M, penggunaan tanah kerajaan yang sangat mencolok adalah untuk hal-hal yang
berkaitan dengan keagamaan.Tanah-tanah itu biasanya kemudian disebut tanah
perdikan yang memiliki fasilitas-fasilitas khusus dari kerajaan. Dalam
beberapa prasasti yang sudah diinterpretasikan sampai saat ini, setidaknya ada
empat alasan sebuah daerah dijadikan daerah perdikan, yaitu:
- Alasan kegamaan, jika di daerah itu terdapat bangunan suci keagamaan seperti candi sehingga masyarakat di sekitarnya diwajibkan untuk memelihara bangunan itu dengan imbalan daerahnya dijadikan daerah perdikan.
- Alasan kesakralan, jika di daerah itu terdapat bangunan suci yang disakralkan seperti candi pendharmaan, petirtaan, pertapaan, dan lain-lain.
- Alasan politik, jika daerah atau tanah itu diberikan raja pada seseorang yang dianggap telah berjasa pada raja atau kerajaan.
- Alasan sosial ekonomis, jika di daerah itu terdapat bangunan yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti jembatan, tanggul air (bendungan), dan lain-lain.
Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, khususnya yang
berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuna, sebagian besar berisi keputusan
penetapan suatu wilayah menjadi sebuah daerah sima atau perdikan,
misalnya Prasasti Rukam (829 C atau 906 M) yang berasal dari masa
pemerintahan Raja Balitung.Prasasti ini juga mengemukakan pembagian wilayah
kerajaan dengan disebutkannya wilayah kutagara atau negeri
ageng.Prasasti Rukam berisi keputusan Raja Balitung untuk menjadikann Desa
Rukam yang terletak di wilayah kutagara atau negeri ageng yang
telah hancur oleh letusan gunung berapi sebagai daerah perdikan bagi
neneknya. Hasil tanah di Desa Rukam itu dipersembahkan untuk kepentingan
bangunan suci yang akan dibangun di atasnya. Di samping berisi tentang
penetapan sima, prasasti masa kerajaan Mataram Kuna megungkapkan fakta
lain yang menguatkan indikasi penguasaan tanah oleh penguasa. Prasasti
Luitan (823 C atau 900M) berisi tentang pengaduan penuduk Desa Luitan
kepada Rakrayan Mapatih I Hino karena tidak sanggup memenuhi pajak yang
ditentukan kerajaan.Prasasti ini juga menyebutkan adanya upacara pemberian
persembahan kepada pejabat kerajaan yang hadir dalam peresmian prasasti yang
berisi tentang keputusan luas tanah dan pajak yang harus diserahkan.Dari
prasasti ini dapat diketahui bahwa setiap upacara penetapan prasasti selalu
diikuti dengan penyerahan persembahan kepada pejabat kerajaan.
Dari dua prasasti
tersebut, menunjukkan bahwa pada abad X M, tanah sudah menempati posisi yang
penting dan juga sebagai sumber pendapatan bagi kerajaan.Di samping itu nilai
sosial tanah juga cukup tinggi sehingga untuk menghormati nenek moyangnya,
seorang raja dapat menetapkan daerah sima sebagai persembahan sekaligus
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan religinya (dalam hal ini dengan dibangunnya
sebuah candi persembahan yang harus dirawat oleh masyarakat yang bertempat
tinggal di wilayah itu).
Prasasti-prasasti
di atas memang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang arti penting tanah baik ditinjau dari
sudut pandang ekonomi maupun sosial. Namun, dapat disimpulkan bahwa tanah
adalah sumber daya alam yang penting yang keberadaannnya di bawah kekuasaan
raja.Hal ini menjadikan seorang raja memiliki kekuasaan untuk memberikan
tanah-tanah di wilayah kerajaannya kepada orang yang dianggapnya telah berjasa
kepadanya.Keterangan ini semakin menegaskan suatu kondisi bahwa penguasaan
tanah oleh raja atau kerajaan telah berlangsung lama.Penguasaan ini kemudian
berimplikasi terhadap pola pembagian tanah yang hanya diberikan kepada
orang-orang tertentu saja, dalam hal ini kerabat dekat raja, pejabat kerajaan,
atau orang-orang yang berjasa terhadap raja dan kerajaan.Hal ini juga secara
tidak langsung menegaskan bahwa sejak jaman dahulu, rakyat biasa tidak memiliki
hak milik atas tanah, namun hanya berstatus sebagai penggarap saja.Mereka tidak
dapat dilepaskan dari tanah garapannya, sehingga jika raja menganugerahkan
sebidang tanah pada seseorang, hal ini berarti bahwa orang tersebut juga
menguasai sumberdaya manusia yang hidup di atasnya yang dimanfaatkan sebagai
pekerjanya.Pada masa Kerajaan Mataram Kuna belum diketahui keberadaan tanah
lungguh yang berfungsi sebagai tanah jabatan, karena memang indikasi
pembagian tanah oleh raja kepada rakyatnya (termasuk kerabat dekat dan pejabat
kerajaan), baru terlihat dalam bentuk penetapan sebuah daerah menjadi sima atau
desa perdikan.
Sistem pemberian
tanah pada masa Kerajaan Majapahit digambarkan dalam Prasasti Telang
(903 M).Prasasti ini menyebutkan bahwa pada daerah sima, pajak yang
dipungut dibagi tiga bagian yaitu untuk manilala drabya haji atau
petugas pemungut pajak kerajaan, untuk dharma atau kepentingan bangunan
suci, dan untuk orang yang bertugas merawat atau menjaga dharma.
Keterangan ini merupakan salah satu cara pengelolaan hasil pajak pada masa
Kerajaan Majapahit yang diketahui dari prasasti. Dalam beberapa prasasti juga
muncul suatu asumsi bahwa jika suatu daerah tidak ditetapkan sebagai daerah
sima, maka hasil pungutan pajak setelah dikelola kerajaan, sebagian
daripadanya dibagikan kepada pejabat kerajaan yang tidak mendapat tanah dari
kerajaan. Dengan demikian pada masa Kerajaan Majapahit terdapat dua kelompok
pejabat kerajaan yaitu:
- Pejabat kerajaan yang menerima sima dengan segala fasilitasnya. Sima ini tidak diberikan kepada semua birokrat kerajaan, namun hanya pada birokrat-birokrat tertentu yang memiliki jasa-jasa khusus pada raja, keluarga raja, atau kerajaan. Kelompok pejabat kerajaan yang menerima sima ini menerima sepertiga dari hasil pajak yang diperoleh dari sima tersebut (dalam beberapa prasasti barangkali merekalah yang dimaksud dengan manilala drabya haji).
- Pejabat kerajaan yang tidak menerima sima. Kelompok birokrat ini menerima kompensasi khusus dari kerajaan. Di samping itu, kelompok birokrat ini juga menerima pembagian hasil pajak wilayah yang menjadi wewenangnya, yang kebetulan tidak berstatus sima, setelah pajak itu dikelola oleh pihak kerajaan.
Pada hakekatnya hukum Majapahit juga mengatur segala
aturan tanah. Meskipun tidak jelas bentuknya, namun kiranya dapat ditarik satu
kesimpulan bahwa tampaknya tanah berada dalam kekuasaan desa (hak
desa).Meskipun tanah itu diminta oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan untuk
digunakan atau dijadikan sebagai daerah sima, tanah itu tetap harus
dilepasakan terlebih dahulu dari kekuasaan desa.
Pada masa Kerajaan Majapahit sebagaimana masa
kerajaan-kerajajan Hindu-Budha di nusantara, di samping kitab hukum formal, prasasti
juga dianggap memiliki kekuatan hukum yang cukup tinggi. Di Kerajaan Majapahit,
beberapa prasasti yang diterbitkan raja-rajanya mengungkapkan tentang persoalan
seputar tanah. Prasasti Jayanegara I (1316 M) menyebutkan tentang
penganugerahan tanah perdikan kepada penduduk Blambangan oleh Raja
Jayanegara karena telah berjasa membantu kerajaan memadamkan api pemberontakan
yang terjadi di daerah Blambangan. Dalam prasasti ini memuat keterangan tentang
tanah perdikan yaitu bahwa setelah ditetapkan sebagai tanah perdikan
persukuan Tanah-Air yang diberi anugerah itu diperkenankan memungut hasil tanah
yang dulunya menjadi hak raja.Prasasti Sendang Sedati (1463) menyebutkan
bahwa raja Diah Suraprawa menganugerahkan tanah perdikan Pamintihan
kepada hambanya yang bernama Aria Surung karena kesetiaan dan keberaniannya
memberantas kejahatan yang sedang berkembang di Kerajaan Majapahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar