Kamis, 18 Februari 2016

Review APANAGE DAN BEKEL “Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920” Karya : Suhartono

Review
 APANAGE DAN BEKEL
“Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920”
Karya : Suhartono








Disusun Oleh
MUHAMMAD RIZAL SETIAWAN (C 0514039)






PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015



APANAGE DAN BEKEL
“Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920”
Pada bab I berisi pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan, tinjauan penelitian, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, sumber penelitian dan ringkasan masalah. Buku ini terdiri dari VI bab. Pemaparan dari bab I yakni terkait permasalahan yang dijadikan sebagai latar belakang penulisan buku ini ialah proses eksploitasi agraris di daerah Vorsternlanden yang berhubungan langsung dengan tanah apanage dan bekel. Masuknya pengaruh Barat ke pedesaan yang makin intensif dengan kepentingan Kolonial Belanda maka Pemerintah Kolonial Belanda memerlukan berbagai lembaga sosial dan politik guna memperlancar politik agrarian Belanda. Mengungkap tentang pola dan corak perubahan sosial yang terjadi pada pemilikan tanah apanage di karesidenan Surakarta.
Di dalam masyarakat tradisional mereka menguasai tenanga kerja di tanah apanagenya. Akan tetapi setelah tanah itu di sewakan kepada pengusaha perkebunan hak-hak yang ada pada patuh beralih kepada perusahaan penyewa atau landhuurder. Sistem apanage ini muncul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Raja atau penguasa dalam menjalankan peerintahannya di bantu oleh seperangkat pejabat dan keluarga raja dan sebagai imbalannya maka mereka akan di beri tanah lunguh atau apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan, dan mereka para patuh atau orang yang membantu pekerjaan raja berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagai hasil dari tanah-tanah apanage ini.
Munculnya istilah bekel tidak lepas dari sistem apanage karena seorang pemegan tanah apanage yang tinggal di Ibu kota kerajaan atau kuthagara tidak mengarap tanah apanagenya sendiri. Kemudian seorang patuh mengankat seorang bekel yang mewakili patuh dan berfungsi sebagai penebas pajak, bekel juga mendapat sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak.
Latar belakang sosial ekonomi di daerah Vorsternlanden yang berupa letak dan ekologi di daerah itu. Dengan tanah, iklim dan hidrografi yang mempengaruhi tanah apanage di daerah Vorsternlanden itu sendiri. Dalam bab II ini di bahas keadaan alam ternyata berpengaruh kepada tanha apanage itu sendiri. Perjanjian Gianti pada tahun 1755 berdiri dua kerajaan yaitu kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dan pada tahun 1757 berdirilah Kadipaten Mangkunegara sebagai hasil perjanjian Solotigo. Di dalam perkembangannya pihak Kerajaan Surakarta atau Kasunanan makin terikat oleh kontrak-kontrak dengan gubernamen. Namun di sisi lain dipihak lain Mangkunegara makin banyak mendapatkan kebebasan, khususnya dibidang perekonomian. Letak karesidenan Surakarta sangat strategis, dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan Jalan Trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di perkebunan di pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang tentunnya sanagat efektif di masa itu.
Di daerah Surakarta yang terkenal adalah daerah Sukowati (bagian timur Surakarta) dan Pajang (bagian barat Surakarta). Daerah Sukowati merupakan daerah yang tidak terlalu subur tanahnya dan penduduknya juga sedikit. Sebaliknya, Pajang merupakan daerah subur yang banyak ditanami persawahan dan padat penduduk. Tanah sebagai sesuatu yang berharga pada saat itu mempunyai peran penting untuk menciptakan sebuah sistem interaksi sosial masyarakat di sana. Saat itu, raja merupakan pemilik tanah.
Sistem apanage yang ada timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Didalam menjalankan pemerintahannya penguasa di bantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya dan sebagai imbalannya, mereka diberi tanah apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan dan mereka para patuh, berhak mendapat layanan kerja dan sebagaian hasil dari tanah-tanah apanage. Timbulnya istilah bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem apanage, karena patuh yang tinggal di kuthagara tidak mengerjakan apanage yang sendiri ia kemudian mengangkat seorang bekel. Selain itu, untuk menjalankan roda pemerintahannya, raja dibantu oleh birokrat yang selanjutnya terdiri dari sentana dan narapraja.
Status sosial Masyarakat Surakarta yang terbagi dalam dua golongan sosial yang besar, yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dll. Golongan priyayi yang terdiri dari para sentana dan narapraja merupakan sebagian kecil penduduk terdiri dari golongn penguasa yang berada di atas  golongan sosial besar. Golongan besar ini terdiri dari para sikep dan kuli-kuli lainnya yang disebut wong cilik. Priyayi mengawasi para sikep karena ia memberi tanah garapan kepada mereka. Golongan sikep menyediakan tenaga kerja untuk menggarap tanah-tanah apanage. Bekel sendiri muncul dari system sosial ini, untuk memperkuat kedudukan, mereka menjalin perkawinan setara gelar yang di dapat agar bias mengontrol perkembangan politik desa.
Satu konsekuensi sistem apanage adalah distribusi tanah yang tidak merata dan sama luasnya. Hal ini berkaitan dengan jauh dekatnya hubungan kekerabatan patuh dengan raja dan tinggi rendahnya jabatan elite birokrat. Membagi tanah apanage untuk para elite birokrat jauh lebih mudah karena dapat diseragamkan menurut pangkatnya. Namun ada kesulitan dalam memetakan tanah-tanah apanage karena tidak ditemukan catatan yang lengkap. Selain itu, kedudukan tanah apanage sangat labil, dan setiap kali tanah itu berganti pemegannya. Untuk menjaga kestabilan politiknya, raja dapayt menambah atau mengurangi apanage, tetapi tindakan raja ini akan menimbulkan rasa ketidak puasan bagi para patuh. Di Kasunanan tanah-tanah apanage disewakan pada perusahaan perkebunan dan di Mangkunegaran sudah lebih dulu dirintis pembebasan apanage dan diusahakan agar tanah-tanah itu dimanfaatkan untuk tanaman perdagangan. Namun situasi di pedesaan pad umumnya masih belum berubah karena masih terjadi pemerasan, pemaksaan dan sejenisnya oleh para patuh. Tanah-tanah apanage masih menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan.
Di masa itu upeti dan pajeg sangat riskan di pungut pembayaran pajak berbentuk uang atau barang. Pembayaran di bumi pangrembe dilakukan dengan maro hasil dan di bumi pamajegan di bayar dengan uang dengan perhitungan satu real setiap jung (1 reaal = f2,80). Jenis pajak yang terpenting ialah pancumpleng semacam sewa tanah. Meskipun besarnya pajak hanya seperenam atau sepertujuh, tetapi karena setiap cacah harus membayar, jumlah keseluruhan menjadi besar. Di beberapa tempat berlaku pajak untuk pohon buah-buahan sebagai ganti pancumpleng.
Punduthan atau pajak yang merupakan permintaan patuh pada upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Patuh membuat suatu pajak bekti gunanya untuk menambah loyalitas para penyewa tanahnya. Bekti timbul sebagai konsekuensi dari penrsewaan tanah sehingga penyewa harus membayar pajak tambahan yang di tentukan oleh para patuh. Membayar bekti di gunakan agar sewa tanh tetap lanjut tetapi apabila ada yang membayar bekti lebih banyk dari seharusnya maka akan di pastikan tidak aka nada pergantian penyewa. Apabila pembayaran bekti di anggap layak maka akan di buat suatu perjanjian yang di sebut piagem. Pembayaran bekti dari penyewa kepada patuh berlangsung sampai adanya Peraturan Persewaan Tanah pada tahun 1918. Tetapi dalam prakteknya pemilik dan penyewa sama-sama untung dan tetap di lanjutkan.
Salah satu dampak yang muncul adanya sistem apanage ini adalah perang desa. Hal tersebut bisa terjadi karena letak tanah apanage yang tidak jelas atau simpang siur. Selain itu, pengangkatan dan pemberhentian bekel juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perang desa. Adanya berbagai macam tumbuhan seperti alang-alang, rumput, bambu, dan lain sebagainya yang menguntungkan secara ekonomis selalu diperebutkan oleh desa-desa sekitar. Selain itu, dampak lain yang muncul adalah terjadinya perampokan oleh desa yang kuat terhadap desa yang lemah. Perang desa tersebut pernah terjadi di desa Wedi, Jiwonalan, Cepoko, dan lain sebagainya.
Terlebih lagi apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, maka akan berdampak pada struktur sosial. Artinya kehidupan yang baik hanya dihadapi oleh priyayi, sedangkan wong cilik hanya makan nasi dan gereh. Meskipun demikian, masyarakat semakin berkembang dengan bukti adanya pembuatan kerajinan berupa batik yang bisa dijual ke luar daerah. Menariknya, sistem barang-barang yang dijual berdasarkan pada pasaran. Artinya barang-barang tertentu akan dijual pada hari-hari tertentu dan di pasar tertentu pula. Hal ini dilakukan supaya ada distribusi ekonomi yang merata di setiap daerah.
Membahas kembali mengenai bekel, banyak terjadi hal-hal yang boleh jadi menyimpang dari piagem. Bekel yang seharusnya memberikan pajak kepada patuh terkadang tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Hal tersebut bisa terjadi karena sikep tidak bisa memenuhi pasokan sehingga pajaknya juga berkurang atau juga bisa karena pasokan tersebut sebagian diambil oleh bekel sebelum sampai ke patuh. Seperti halnya patuh dan raja, bekel juga mempunyai kekuasaan yang didasarkan atas kepemilikan (penguasaan) tanah.
Selain itu, sikep mengakui bekel sebagai patronnya dan begitu juga sebaliknya. Hal ini bisa terjadi karena loyalitas sikep kepada bekel. Pada musim paceklik misalnya, sikep akan meminta pinjaman kepada bekel karena bekel dianggap sebagai orang yang kaya. Terlebih lagi bekel mempunyai kebebasan yang sangat luas dan mereka hanya akan tunduk kepada atasannya ketika pembayaran pajak dan upeti kepada raja. Untuk memperkuat status sosialnya, bekel biasanya melakukan hal tersebut melalui ikatan perkawinan dengan kepala-kepala diatasnya.
Dalam perkembangan politik di Surakrta khususnya dan di Vorsternlanden umunya terjadi dalam bab III di jelaskan bahwa perkembangan politik muncul pada saat perang diponegoro. Dalam bab ini di jelaskan bahwa perluasan ekonomi colonial manimbulkan usaha untuk melakukan transformasi politik. Dilakukanya transformasi politik di pedesaan ini karena perubahan kedudukan tanah apanage, yang semula di kuasai oleh patuh kini beralih ke penyewa asing.
Untuk daerah Kasunanan sistem apanage dimulai sejak palihan nagari pada tahun 1755, dan untuk daerah Mangkunegaran sejak diadakannya perjanjian Solotigo pada tahun 1757. pembagian tanah apanage tidak berdasarkan atas wilayah kerajaan yang membawahinya, tetapi letaknya tumpang paruk atau simpang siur. Banyak tanah apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan birokrat kasunanan yang terletak di Mangkunegaran atau didaerah Kasultanan. Keadaan yang seperti ini menyulitkan penyewa tanah-tanah apanage, baik dari segi manajemenya maupun keamanannya. Oleh karena itu pemerintah kolonial sedikit demi sedikit melakakan penyederhanaan sistem apanage dengan pembaharuan persewaan tanah maupun penghapusan tanah apanage itu sendiri.
Masyarakat pedesaan dalam keadaanya melakukan partisipasi dan adaptasi terhadap tujuan politik kolonial, maka secara tidak langsung kelompok masyarakat di tuntut untuk masuk secara cepat pada pemerintahan kolonial. Di Vorsternlanden, berlakunya system apanage berarti masih dipertahankannya lembaga-lembaga yang secara tradisional di akui dan didukung keberadaannnya di dalam masyarakat agraris.
Perubahan sosial di masyarakat sangatlah jelas terjadi tentunya dengan beberapa kejadian di pedesaan, lalu mulai munculnya reorganisasi tanah agraria, dll. Ini menunjukan bahwa pada bab IV ini maka akan di bahas kondisi yang ada di pedesaan di daerah Surakarta tentunnya karena pada dasaernya pedesaan yang awalnya aman menjadi kurang aman karena munculnya gangguan dari pencuri, begal, dan kecu. Reeorganisasi merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga penekanan pada petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi, sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain reorganisasi tersebut akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses monetisasi semakin lancar.
Dengan demikian ekstraksi lama tetap berjalan disatu pihak, dan intensifikasi ekstraksi berlangsung sesuai dengan kemajuan penetrasi kolonial dan komersialisasi di pihak lain. Perubahan-perubahan itu mempercepat runtuhnya kelembagaan desa. Dukungan dari beberapa teori perlu dicocokan kebenarannya terutama korelasi antara perubahan kedudukan tanah dan pemerintahan desa dengan proses komersialisasi dan monetisasi.
Proses reorganisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di pedesaan. Reorganisasi peradilan yang dilakukan sebelumnya guna menunjang keamanan bagi usaha-usaha swasta ternyata belum cukup menjamin. Oleh karena itu, diperlukan reorganisasi agraria, yaitu dengan menghapus tanah apanage agar ada kepastian usaha bagi modal swasta, termasuk penyederhanaan manajemennya.
Perubahan kekuasaan bekel secara resmi baru dilakukan bersamaan dengan reorganisasi tanah dan pembentukan pemerintahan desa pada tahun 1912 untuk desa kejawen, tahun 1917 untuk desa perkebunan. Desa-desa kejawen yang terdiri dari beberapa kabekelan dihapus, dan dibentuk kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah desa atau kepala desa.
Pada dasarnya terdapat persamaan wewenang bekel denagn lurah, tetapi wewenang lurah dipersempit pada urusan administrasi dan pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah colonial mempunyai pegangan kuat terhadap desa-desa dalam rangka mengubah system apanage ke industrialisasi agraris. Dengan kata lain, kelurahan mempunyai wewenang nyata untuk mengatur desa-desa guna mendapatkan tanah dan tenaga kerja melalui persewaan dan kontrak individual.
Transportasi dan mobilisasi merupakan dampak dari peningkatan agro-industri. Mobilisasi mencakup perpindahan secara geografis dari satu tempat ke tempat lain yang ditunjang oleh transportasi modern yaitu kereta api, sedangkan perpindahan secara sosial berupa perubahan status sosial ke atas. Kedua bentuk mobilitas itu tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh petani karena ada beberapa hambatan. Mobilitas geografis petani terbatas pada territorialnya dan kemampuan finansialnya, sedangkan mobilitas ke atas sengaja ditekan agar tetap tersedia tenaga kerja guna memperoleh ekstraksi secara maksimal.
Pedesaan daerah Surakarta hadiningrat dan Vorsternlanden mengalami keresahan yang cukup membuat Pemerintahan Kolonial kelimpungan dalam bab V ini akan di  keresahan-keresahan yang terjadi mengarah kepada gerakan sosial. Kondisi ini tak lepas dari suatu kondisi ekonomi yang terjadi, melalui tekanan pajak yang mencekik, beban ikatan feodal dengan pemerintahan Kolonial dan juga kerajaan atau keraton.
Hambatan agro-industrialisasi yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa keberatan. Selain itu ekstrasi kolonial juga dihambat oleh banyaknya kerusuhan di desa. Gangguan ini terasa sekali pada waktu krisis pertanian yang mengakibatkan : pertama, banyak perusahaan perkebunan menutup usahanya yang berarti terjadi pemutusan hubungan sewa-menyewa tanah, kedua proses pemiskinan para patuh semakin cepat. Keadaan tersebut menyulitkan kedudukan perusahaan perkebunan, namun jika perusahaan perkebunan berhasil mengatasinya para patuh akan tergantung hidupnya pada perusahaan tersebut. Hal ini yang dipakai alasan oleh pemerintah kolonial untuk segara melaksanakan reorganisasi.
Reeorganisasi merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga penekanan pada petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi, sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain reorganisasi tersebut akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses monetisasi semakin lancar.
Gerakan ratu adil merupakan kontra-ideologi terhadap raja sebagai pengasa yang sudah tentu mengancam kedudukan penguasa. Tak lepas dari penangkapan seorang guru ilmu sejati dan ilmu kebal yang mengaku sebagai titisan imam mahdi atau ratu adil yang mengharuskan semua pengikutnya memakai jimat karean jika tidak maka akan terjadi huru hara.
 Menurut lokasi kejadiannya, keresahan sosial dapat dibedakan menjadi 2, yaitu di pusat kerajaan dan di pedesaan. Sungguhpun demikian, kedua lokasi itu tidak dapat dipisahkan karena keresahan yang mula-mula timbul di istana, setelah meletus sebagai gerakan, beralih kepada dukungan priyayi di pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan seperti perkecuan, pencurian, pembegalan, pembakaran, dan pembunuhan, serta gerakan sosial keagamaan mengambil tempat di pedesaan karena petani meupakan sebagian besar korban modernisasi sehingga gerakan yang timbul selalu didukung oleh petani.
Kasus-kasus gerakan sosial yakni Gerakan Mangkuwijoyo yang berlangsung pada tahun 1865 gerakan ini di pimpin oleh R. Mangkuwijoyo yang mendapat ilham untuk mendirikan kerajaan baru di daerah klaten dengan gelar sunan adil atau ratu adil karenanya dia di tangkap beserta 15 pengikutnya karena di anggap melakukan pemberontakan. Gerakan Srikaton yang terjadi di tahun 1888 pergerakan ini di pimpin oleh seorang anak dari bekel yaitu Imam Rejo alias Sariman dia bertapa di alas ketongo lereng gunung lawu di ngawi dia mendapat ilham untuk membuat kerajaan baru guna mengantikan kerajaan yang lama yang sudah tidak aktif lagi. Dia mewajibkan pengikutnya untuk mengikuti kemauannya dan jika tidak mau maka pengikutnya akan di buang ke laut imam sendiri bergelar Imam Sampurno Jenal Ngabidin. Rupanya para bekel sangat mendukung buktinnya bekel yang paternalistic sebagai pelindung petani masih kuat sehingga tidak heran jika mereka berpihak pada gerakan itu.
            Pergerakan ini memicu banyak kejahatan di pedesaan yang tentunya meresahkan yaitu Kecu atau perampok bersenjata di malam hari yang tak segan untuk membunuh Koran, begal  kelompok kecil kurang dari 5 orang yang merampas para korban pada siang dan malam hari biasanya korbannya ialah pedagan di pasar yang inggin berangkat berdagang di pasar, walau nilai atau barang yang di ambil cukup minim tetapi sangat meresahkan para pedangang. Kebakaran yang di lakukan sebagai protes petani kepada perusahaan yang merugikan petani. Pencurian hewan, pembunuhan terjadi semakin sering dan mengakibatkan warga pedesaan resah.
            Keresahan dan ketidak puasan ini khusunya merupakan akibat perubahan sosial ekonom kolonial yang intensif di sector agrarian. Wajar jika dalam kondisi ini secara objektif muncul perubahan baru dalam masyarakat sebagai akibat pada perubahan sebelumnya. Timbulnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari faktor kepemimpinan yang mesianistik.
            Akhir dari suatu system apanage dan bekel di paprkan pada bab VI yang berisi kesimpulan penghapusan apanage dan juga paranan bekel. Perluasan perusahaan perkebunan menghadapi hambatan yang berupa sistem apanage. Sistem ini adalah kendala bagi proses industrialisasi dan komersialisasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebab tanah dan tenaga kerja ada dalam ikatan tradisional yang tidak cocok bagi pengembangan ekonomi kolonial. Oleh karena itu diperlukan pembebasan tanah dan tenaga kerja yang menuntut diadakanya reorganisasi agraria. Jadi tujuan reorganisasi adalah pembebasan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Peranan bekel di dalam system apanage , bekel memiliki fngsi ekonomi yaitu sebagai penebas pajak tetapi di rubah menjadi kepala desa. Sebagai pempinan komonitas sebenarnya bekel sudah mempunyai kekuatan meskipun terbatas dalam komonitasnya  saja. Kemudian komonitas di perluas ke desa-desa di kabekelan dan akhirnya meliputi satu kelurahan.
SIMPULAN
            Dalam buku ini cukup lengkap megulas tentang sistem apnage dan bekel, khususnya di daerah Surakarta. Baik dari pelestarian sistem feodal tanah Jawa yang sudah trun temurun demi kepentingan pemerintah kolonial, maupun penghapusan sistem ini. Tanah sudah menjadi satu rangkaian atau hal yang sangat penting bagi Raja, Priyayi maupun kawulo (rakyat jelata), karena ini adalah sumber kekuasaan, prestis dan mata pencaharian. Dalam buku ini memaparkan bahwa munculnya istilah bekel tidak lepas dari sistem apanage karena seorang pemegan tanah apanage yang tinggal di Ibu kota kerajaan atau kuthagara tidak mengarap tanah apanagenya sendiri. Kemudian seorang patuh mengankat seorang bekel yang mewakili patuh dan berfungsi sebagai penebas pajak, bekel juga mendapat sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak. Lalu struktur sosial ekonomi yang sangat menonjol di kala itu dari bekel yang berupa penebas pajak di angkat menjadi kepala desa, keresahan di masa itu juga di jelaskan secara rinci dan menarik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar