Kamis, 18 Februari 2016

Review APANAGE DAN BEKEL “Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920” Karya : Suhartono

Review
 APANAGE DAN BEKEL
“Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920”
Karya : Suhartono








Disusun Oleh
MUHAMMAD RIZAL SETIAWAN (C 0514039)






PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015



APANAGE DAN BEKEL
“Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920”
Pada bab I berisi pengantar yang di dalamnya memaparkan permasalahan, tinjauan penelitian, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, sumber penelitian dan ringkasan masalah. Buku ini terdiri dari VI bab. Pemaparan dari bab I yakni terkait permasalahan yang dijadikan sebagai latar belakang penulisan buku ini ialah proses eksploitasi agraris di daerah Vorsternlanden yang berhubungan langsung dengan tanah apanage dan bekel. Masuknya pengaruh Barat ke pedesaan yang makin intensif dengan kepentingan Kolonial Belanda maka Pemerintah Kolonial Belanda memerlukan berbagai lembaga sosial dan politik guna memperlancar politik agrarian Belanda. Mengungkap tentang pola dan corak perubahan sosial yang terjadi pada pemilikan tanah apanage di karesidenan Surakarta.
Di dalam masyarakat tradisional mereka menguasai tenanga kerja di tanah apanagenya. Akan tetapi setelah tanah itu di sewakan kepada pengusaha perkebunan hak-hak yang ada pada patuh beralih kepada perusahaan penyewa atau landhuurder. Sistem apanage ini muncul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Raja atau penguasa dalam menjalankan peerintahannya di bantu oleh seperangkat pejabat dan keluarga raja dan sebagai imbalannya maka mereka akan di beri tanah lunguh atau apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan, dan mereka para patuh atau orang yang membantu pekerjaan raja berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagai hasil dari tanah-tanah apanage ini.
Munculnya istilah bekel tidak lepas dari sistem apanage karena seorang pemegan tanah apanage yang tinggal di Ibu kota kerajaan atau kuthagara tidak mengarap tanah apanagenya sendiri. Kemudian seorang patuh mengankat seorang bekel yang mewakili patuh dan berfungsi sebagai penebas pajak, bekel juga mendapat sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak.
Latar belakang sosial ekonomi di daerah Vorsternlanden yang berupa letak dan ekologi di daerah itu. Dengan tanah, iklim dan hidrografi yang mempengaruhi tanah apanage di daerah Vorsternlanden itu sendiri. Dalam bab II ini di bahas keadaan alam ternyata berpengaruh kepada tanha apanage itu sendiri. Perjanjian Gianti pada tahun 1755 berdiri dua kerajaan yaitu kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dan pada tahun 1757 berdirilah Kadipaten Mangkunegara sebagai hasil perjanjian Solotigo. Di dalam perkembangannya pihak Kerajaan Surakarta atau Kasunanan makin terikat oleh kontrak-kontrak dengan gubernamen. Namun di sisi lain dipihak lain Mangkunegara makin banyak mendapatkan kebebasan, khususnya dibidang perekonomian. Letak karesidenan Surakarta sangat strategis, dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan Jalan Trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di perkebunan di pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang tentunnya sanagat efektif di masa itu.
Di daerah Surakarta yang terkenal adalah daerah Sukowati (bagian timur Surakarta) dan Pajang (bagian barat Surakarta). Daerah Sukowati merupakan daerah yang tidak terlalu subur tanahnya dan penduduknya juga sedikit. Sebaliknya, Pajang merupakan daerah subur yang banyak ditanami persawahan dan padat penduduk. Tanah sebagai sesuatu yang berharga pada saat itu mempunyai peran penting untuk menciptakan sebuah sistem interaksi sosial masyarakat di sana. Saat itu, raja merupakan pemilik tanah.
Sistem apanage yang ada timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Didalam menjalankan pemerintahannya penguasa di bantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya dan sebagai imbalannya, mereka diberi tanah apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan dan mereka para patuh, berhak mendapat layanan kerja dan sebagaian hasil dari tanah-tanah apanage. Timbulnya istilah bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem apanage, karena patuh yang tinggal di kuthagara tidak mengerjakan apanage yang sendiri ia kemudian mengangkat seorang bekel. Selain itu, untuk menjalankan roda pemerintahannya, raja dibantu oleh birokrat yang selanjutnya terdiri dari sentana dan narapraja.
Status sosial Masyarakat Surakarta yang terbagi dalam dua golongan sosial yang besar, yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dll. Golongan priyayi yang terdiri dari para sentana dan narapraja merupakan sebagian kecil penduduk terdiri dari golongn penguasa yang berada di atas  golongan sosial besar. Golongan besar ini terdiri dari para sikep dan kuli-kuli lainnya yang disebut wong cilik. Priyayi mengawasi para sikep karena ia memberi tanah garapan kepada mereka. Golongan sikep menyediakan tenaga kerja untuk menggarap tanah-tanah apanage. Bekel sendiri muncul dari system sosial ini, untuk memperkuat kedudukan, mereka menjalin perkawinan setara gelar yang di dapat agar bias mengontrol perkembangan politik desa.
Satu konsekuensi sistem apanage adalah distribusi tanah yang tidak merata dan sama luasnya. Hal ini berkaitan dengan jauh dekatnya hubungan kekerabatan patuh dengan raja dan tinggi rendahnya jabatan elite birokrat. Membagi tanah apanage untuk para elite birokrat jauh lebih mudah karena dapat diseragamkan menurut pangkatnya. Namun ada kesulitan dalam memetakan tanah-tanah apanage karena tidak ditemukan catatan yang lengkap. Selain itu, kedudukan tanah apanage sangat labil, dan setiap kali tanah itu berganti pemegannya. Untuk menjaga kestabilan politiknya, raja dapayt menambah atau mengurangi apanage, tetapi tindakan raja ini akan menimbulkan rasa ketidak puasan bagi para patuh. Di Kasunanan tanah-tanah apanage disewakan pada perusahaan perkebunan dan di Mangkunegaran sudah lebih dulu dirintis pembebasan apanage dan diusahakan agar tanah-tanah itu dimanfaatkan untuk tanaman perdagangan. Namun situasi di pedesaan pad umumnya masih belum berubah karena masih terjadi pemerasan, pemaksaan dan sejenisnya oleh para patuh. Tanah-tanah apanage masih menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan.
Di masa itu upeti dan pajeg sangat riskan di pungut pembayaran pajak berbentuk uang atau barang. Pembayaran di bumi pangrembe dilakukan dengan maro hasil dan di bumi pamajegan di bayar dengan uang dengan perhitungan satu real setiap jung (1 reaal = f2,80). Jenis pajak yang terpenting ialah pancumpleng semacam sewa tanah. Meskipun besarnya pajak hanya seperenam atau sepertujuh, tetapi karena setiap cacah harus membayar, jumlah keseluruhan menjadi besar. Di beberapa tempat berlaku pajak untuk pohon buah-buahan sebagai ganti pancumpleng.
Punduthan atau pajak yang merupakan permintaan patuh pada upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Patuh membuat suatu pajak bekti gunanya untuk menambah loyalitas para penyewa tanahnya. Bekti timbul sebagai konsekuensi dari penrsewaan tanah sehingga penyewa harus membayar pajak tambahan yang di tentukan oleh para patuh. Membayar bekti di gunakan agar sewa tanh tetap lanjut tetapi apabila ada yang membayar bekti lebih banyk dari seharusnya maka akan di pastikan tidak aka nada pergantian penyewa. Apabila pembayaran bekti di anggap layak maka akan di buat suatu perjanjian yang di sebut piagem. Pembayaran bekti dari penyewa kepada patuh berlangsung sampai adanya Peraturan Persewaan Tanah pada tahun 1918. Tetapi dalam prakteknya pemilik dan penyewa sama-sama untung dan tetap di lanjutkan.
Salah satu dampak yang muncul adanya sistem apanage ini adalah perang desa. Hal tersebut bisa terjadi karena letak tanah apanage yang tidak jelas atau simpang siur. Selain itu, pengangkatan dan pemberhentian bekel juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perang desa. Adanya berbagai macam tumbuhan seperti alang-alang, rumput, bambu, dan lain sebagainya yang menguntungkan secara ekonomis selalu diperebutkan oleh desa-desa sekitar. Selain itu, dampak lain yang muncul adalah terjadinya perampokan oleh desa yang kuat terhadap desa yang lemah. Perang desa tersebut pernah terjadi di desa Wedi, Jiwonalan, Cepoko, dan lain sebagainya.
Terlebih lagi apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, maka akan berdampak pada struktur sosial. Artinya kehidupan yang baik hanya dihadapi oleh priyayi, sedangkan wong cilik hanya makan nasi dan gereh. Meskipun demikian, masyarakat semakin berkembang dengan bukti adanya pembuatan kerajinan berupa batik yang bisa dijual ke luar daerah. Menariknya, sistem barang-barang yang dijual berdasarkan pada pasaran. Artinya barang-barang tertentu akan dijual pada hari-hari tertentu dan di pasar tertentu pula. Hal ini dilakukan supaya ada distribusi ekonomi yang merata di setiap daerah.
Membahas kembali mengenai bekel, banyak terjadi hal-hal yang boleh jadi menyimpang dari piagem. Bekel yang seharusnya memberikan pajak kepada patuh terkadang tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Hal tersebut bisa terjadi karena sikep tidak bisa memenuhi pasokan sehingga pajaknya juga berkurang atau juga bisa karena pasokan tersebut sebagian diambil oleh bekel sebelum sampai ke patuh. Seperti halnya patuh dan raja, bekel juga mempunyai kekuasaan yang didasarkan atas kepemilikan (penguasaan) tanah.
Selain itu, sikep mengakui bekel sebagai patronnya dan begitu juga sebaliknya. Hal ini bisa terjadi karena loyalitas sikep kepada bekel. Pada musim paceklik misalnya, sikep akan meminta pinjaman kepada bekel karena bekel dianggap sebagai orang yang kaya. Terlebih lagi bekel mempunyai kebebasan yang sangat luas dan mereka hanya akan tunduk kepada atasannya ketika pembayaran pajak dan upeti kepada raja. Untuk memperkuat status sosialnya, bekel biasanya melakukan hal tersebut melalui ikatan perkawinan dengan kepala-kepala diatasnya.
Dalam perkembangan politik di Surakrta khususnya dan di Vorsternlanden umunya terjadi dalam bab III di jelaskan bahwa perkembangan politik muncul pada saat perang diponegoro. Dalam bab ini di jelaskan bahwa perluasan ekonomi colonial manimbulkan usaha untuk melakukan transformasi politik. Dilakukanya transformasi politik di pedesaan ini karena perubahan kedudukan tanah apanage, yang semula di kuasai oleh patuh kini beralih ke penyewa asing.
Untuk daerah Kasunanan sistem apanage dimulai sejak palihan nagari pada tahun 1755, dan untuk daerah Mangkunegaran sejak diadakannya perjanjian Solotigo pada tahun 1757. pembagian tanah apanage tidak berdasarkan atas wilayah kerajaan yang membawahinya, tetapi letaknya tumpang paruk atau simpang siur. Banyak tanah apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan birokrat kasunanan yang terletak di Mangkunegaran atau didaerah Kasultanan. Keadaan yang seperti ini menyulitkan penyewa tanah-tanah apanage, baik dari segi manajemenya maupun keamanannya. Oleh karena itu pemerintah kolonial sedikit demi sedikit melakakan penyederhanaan sistem apanage dengan pembaharuan persewaan tanah maupun penghapusan tanah apanage itu sendiri.
Masyarakat pedesaan dalam keadaanya melakukan partisipasi dan adaptasi terhadap tujuan politik kolonial, maka secara tidak langsung kelompok masyarakat di tuntut untuk masuk secara cepat pada pemerintahan kolonial. Di Vorsternlanden, berlakunya system apanage berarti masih dipertahankannya lembaga-lembaga yang secara tradisional di akui dan didukung keberadaannnya di dalam masyarakat agraris.
Perubahan sosial di masyarakat sangatlah jelas terjadi tentunya dengan beberapa kejadian di pedesaan, lalu mulai munculnya reorganisasi tanah agraria, dll. Ini menunjukan bahwa pada bab IV ini maka akan di bahas kondisi yang ada di pedesaan di daerah Surakarta tentunnya karena pada dasaernya pedesaan yang awalnya aman menjadi kurang aman karena munculnya gangguan dari pencuri, begal, dan kecu. Reeorganisasi merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga penekanan pada petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi, sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain reorganisasi tersebut akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses monetisasi semakin lancar.
Dengan demikian ekstraksi lama tetap berjalan disatu pihak, dan intensifikasi ekstraksi berlangsung sesuai dengan kemajuan penetrasi kolonial dan komersialisasi di pihak lain. Perubahan-perubahan itu mempercepat runtuhnya kelembagaan desa. Dukungan dari beberapa teori perlu dicocokan kebenarannya terutama korelasi antara perubahan kedudukan tanah dan pemerintahan desa dengan proses komersialisasi dan monetisasi.
Proses reorganisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di pedesaan. Reorganisasi peradilan yang dilakukan sebelumnya guna menunjang keamanan bagi usaha-usaha swasta ternyata belum cukup menjamin. Oleh karena itu, diperlukan reorganisasi agraria, yaitu dengan menghapus tanah apanage agar ada kepastian usaha bagi modal swasta, termasuk penyederhanaan manajemennya.
Perubahan kekuasaan bekel secara resmi baru dilakukan bersamaan dengan reorganisasi tanah dan pembentukan pemerintahan desa pada tahun 1912 untuk desa kejawen, tahun 1917 untuk desa perkebunan. Desa-desa kejawen yang terdiri dari beberapa kabekelan dihapus, dan dibentuk kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah desa atau kepala desa.
Pada dasarnya terdapat persamaan wewenang bekel denagn lurah, tetapi wewenang lurah dipersempit pada urusan administrasi dan pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah colonial mempunyai pegangan kuat terhadap desa-desa dalam rangka mengubah system apanage ke industrialisasi agraris. Dengan kata lain, kelurahan mempunyai wewenang nyata untuk mengatur desa-desa guna mendapatkan tanah dan tenaga kerja melalui persewaan dan kontrak individual.
Transportasi dan mobilisasi merupakan dampak dari peningkatan agro-industri. Mobilisasi mencakup perpindahan secara geografis dari satu tempat ke tempat lain yang ditunjang oleh transportasi modern yaitu kereta api, sedangkan perpindahan secara sosial berupa perubahan status sosial ke atas. Kedua bentuk mobilitas itu tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh petani karena ada beberapa hambatan. Mobilitas geografis petani terbatas pada territorialnya dan kemampuan finansialnya, sedangkan mobilitas ke atas sengaja ditekan agar tetap tersedia tenaga kerja guna memperoleh ekstraksi secara maksimal.
Pedesaan daerah Surakarta hadiningrat dan Vorsternlanden mengalami keresahan yang cukup membuat Pemerintahan Kolonial kelimpungan dalam bab V ini akan di  keresahan-keresahan yang terjadi mengarah kepada gerakan sosial. Kondisi ini tak lepas dari suatu kondisi ekonomi yang terjadi, melalui tekanan pajak yang mencekik, beban ikatan feodal dengan pemerintahan Kolonial dan juga kerajaan atau keraton.
Hambatan agro-industrialisasi yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa keberatan. Selain itu ekstrasi kolonial juga dihambat oleh banyaknya kerusuhan di desa. Gangguan ini terasa sekali pada waktu krisis pertanian yang mengakibatkan : pertama, banyak perusahaan perkebunan menutup usahanya yang berarti terjadi pemutusan hubungan sewa-menyewa tanah, kedua proses pemiskinan para patuh semakin cepat. Keadaan tersebut menyulitkan kedudukan perusahaan perkebunan, namun jika perusahaan perkebunan berhasil mengatasinya para patuh akan tergantung hidupnya pada perusahaan tersebut. Hal ini yang dipakai alasan oleh pemerintah kolonial untuk segara melaksanakan reorganisasi.
Reeorganisasi merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga penekanan pada petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi, sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain reorganisasi tersebut akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses monetisasi semakin lancar.
Gerakan ratu adil merupakan kontra-ideologi terhadap raja sebagai pengasa yang sudah tentu mengancam kedudukan penguasa. Tak lepas dari penangkapan seorang guru ilmu sejati dan ilmu kebal yang mengaku sebagai titisan imam mahdi atau ratu adil yang mengharuskan semua pengikutnya memakai jimat karean jika tidak maka akan terjadi huru hara.
 Menurut lokasi kejadiannya, keresahan sosial dapat dibedakan menjadi 2, yaitu di pusat kerajaan dan di pedesaan. Sungguhpun demikian, kedua lokasi itu tidak dapat dipisahkan karena keresahan yang mula-mula timbul di istana, setelah meletus sebagai gerakan, beralih kepada dukungan priyayi di pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan seperti perkecuan, pencurian, pembegalan, pembakaran, dan pembunuhan, serta gerakan sosial keagamaan mengambil tempat di pedesaan karena petani meupakan sebagian besar korban modernisasi sehingga gerakan yang timbul selalu didukung oleh petani.
Kasus-kasus gerakan sosial yakni Gerakan Mangkuwijoyo yang berlangsung pada tahun 1865 gerakan ini di pimpin oleh R. Mangkuwijoyo yang mendapat ilham untuk mendirikan kerajaan baru di daerah klaten dengan gelar sunan adil atau ratu adil karenanya dia di tangkap beserta 15 pengikutnya karena di anggap melakukan pemberontakan. Gerakan Srikaton yang terjadi di tahun 1888 pergerakan ini di pimpin oleh seorang anak dari bekel yaitu Imam Rejo alias Sariman dia bertapa di alas ketongo lereng gunung lawu di ngawi dia mendapat ilham untuk membuat kerajaan baru guna mengantikan kerajaan yang lama yang sudah tidak aktif lagi. Dia mewajibkan pengikutnya untuk mengikuti kemauannya dan jika tidak mau maka pengikutnya akan di buang ke laut imam sendiri bergelar Imam Sampurno Jenal Ngabidin. Rupanya para bekel sangat mendukung buktinnya bekel yang paternalistic sebagai pelindung petani masih kuat sehingga tidak heran jika mereka berpihak pada gerakan itu.
            Pergerakan ini memicu banyak kejahatan di pedesaan yang tentunya meresahkan yaitu Kecu atau perampok bersenjata di malam hari yang tak segan untuk membunuh Koran, begal  kelompok kecil kurang dari 5 orang yang merampas para korban pada siang dan malam hari biasanya korbannya ialah pedagan di pasar yang inggin berangkat berdagang di pasar, walau nilai atau barang yang di ambil cukup minim tetapi sangat meresahkan para pedangang. Kebakaran yang di lakukan sebagai protes petani kepada perusahaan yang merugikan petani. Pencurian hewan, pembunuhan terjadi semakin sering dan mengakibatkan warga pedesaan resah.
            Keresahan dan ketidak puasan ini khusunya merupakan akibat perubahan sosial ekonom kolonial yang intensif di sector agrarian. Wajar jika dalam kondisi ini secara objektif muncul perubahan baru dalam masyarakat sebagai akibat pada perubahan sebelumnya. Timbulnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari faktor kepemimpinan yang mesianistik.
            Akhir dari suatu system apanage dan bekel di paprkan pada bab VI yang berisi kesimpulan penghapusan apanage dan juga paranan bekel. Perluasan perusahaan perkebunan menghadapi hambatan yang berupa sistem apanage. Sistem ini adalah kendala bagi proses industrialisasi dan komersialisasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebab tanah dan tenaga kerja ada dalam ikatan tradisional yang tidak cocok bagi pengembangan ekonomi kolonial. Oleh karena itu diperlukan pembebasan tanah dan tenaga kerja yang menuntut diadakanya reorganisasi agraria. Jadi tujuan reorganisasi adalah pembebasan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Peranan bekel di dalam system apanage , bekel memiliki fngsi ekonomi yaitu sebagai penebas pajak tetapi di rubah menjadi kepala desa. Sebagai pempinan komonitas sebenarnya bekel sudah mempunyai kekuatan meskipun terbatas dalam komonitasnya  saja. Kemudian komonitas di perluas ke desa-desa di kabekelan dan akhirnya meliputi satu kelurahan.
SIMPULAN
            Dalam buku ini cukup lengkap megulas tentang sistem apnage dan bekel, khususnya di daerah Surakarta. Baik dari pelestarian sistem feodal tanah Jawa yang sudah trun temurun demi kepentingan pemerintah kolonial, maupun penghapusan sistem ini. Tanah sudah menjadi satu rangkaian atau hal yang sangat penting bagi Raja, Priyayi maupun kawulo (rakyat jelata), karena ini adalah sumber kekuasaan, prestis dan mata pencaharian. Dalam buku ini memaparkan bahwa munculnya istilah bekel tidak lepas dari sistem apanage karena seorang pemegan tanah apanage yang tinggal di Ibu kota kerajaan atau kuthagara tidak mengarap tanah apanagenya sendiri. Kemudian seorang patuh mengankat seorang bekel yang mewakili patuh dan berfungsi sebagai penebas pajak, bekel juga mendapat sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak. Lalu struktur sosial ekonomi yang sangat menonjol di kala itu dari bekel yang berupa penebas pajak di angkat menjadi kepala desa, keresahan di masa itu juga di jelaskan secara rinci dan menarik.


GADAI TANAH (SENDE)
A.    Pengertian SENDE
Terdapat berbagai istilah untuk menyebut tanah Sende, di Jawa yaitu Gadai tanah dan Jual tanah dengan perjanjian beli kembali. Gadai tanah merupakan suatu perjanjian tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai dengan kesepakatan yaitu bahwa seorang penyerah tanah berhak mendaptkan kembali tanah dengan jalan membayarkan sejumlah uang yang sama dari orang yang menerima gadainya. Gadai tanah sendiri meiliki dua kebijakan beli kembali dan jual lepas, jual lepas sendiri memiliki pengertian pemindahan hak milik, dan Beli kembali memiliki pengertian saat terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak tanah akan dibeli kembali dengan jangka waktu tertentu. Dua istilah yang terpaparkan tersebut perjanjian gadai tanah lebih sesuai karena perjanjian ini dijadikan perjanjian tunggal dan banyak dipakai oleh para pegadai tanah. Gadai tanah sendiri memiliki peraturan jika tidak dientukan jangka waktu pengadaian tanah, maka orang yang memberi uang guna mengambil gadai tanah tersebut akan mendapatkan hak penuh atas tanah yang di gadaikan oleh pemilik sebelumnya.
B.     SENDE (gadai tanah) dalam tinjauan histoeris
·         Gadai tanah pada masa kuno
Gadai tanah sudah dikenal dalam masyarakat kuno dan dapat di buktikan dalam sebuah prasastri Jawa kuno. Gadai pada masa lampau biasa dikenal dengan istilah sanda, menggadaikan barang pada masa Jawa kuno di sebut ananda / anandaken, tergadai mendapat istilah sinandan / kasanda, sedangkan barang yang di gadaikan disebut sasandan, kata ini bias di satukan menjadi suatu kata baru yang dapat di artikan yakni sebagai contoh imah sasanda yang berarti tanah yang masih tergadai. Tulisan atau istilah tersebut terdapat pada prasasti Panggumulan B yang di temukan 825SM, dan di prasati ini juga dikatakan seorang I Wantil pu Palaka menebus tanah milik para pejabat desa di daerah Panggumulan yang tergadai pembeli sawah di Panilman seharga 3 kati perak. Prasasti yang selanjutnya di temukan adalah prasasti Panggumulan II pada tahun 903M, menyebutkan bahwa Pu Palaka menebus tanah dari Dapunta Prabu dan Dapunta Kaca seharga 3 kati perak.
Prasasti Harahura pada tahun 966 M, Bendosari dan Manah I Manuk yang berasal dari majapahit adalah prasati yang menyebutkan tentang seorang Mpu yang mengadaikan tanahnya dan kemudian di tebus kembali. Masalah gadai tanah sendiri sudah di cantumkan dalam kitab perundang-undangan yang di buat oleh Majapahit, di dalam kitab tersebut terdapat istilah kedaluwarsa yang berarti saat transaksi gadai tidak di tebus samapai batas waktu yang ditentukan, yang berakibat hak barangnya akan jatuh ke tangan penggadai sehingga gadai tersebut dapat dijual oleh penggadai. Tetapi ada barang yang jika di gadai tidak akan menjadi hak milik dari sang penggadai barang tersebut adalah tanah karena tanah tersebut secara khusus adalah milik raja dan rakyat hanya memanfaatkan hasil potensi tanah tersebut, maka dari itu tanah pada masa Jawa Kuno adalah barang yang tidak bisa habis masa penebusannya dan tidak akan kadaluarsa karena tanah tersebut bisa di tebus kapan pun.
·         Gadai tanah sebelum UUPA
Di Surakarta perjanjian gadai tanah telah diatur dalam Rijkbal No.10 Bab 15, 1938 dan Rijkbal tahun 1941 nomor 12. Pada tahun 1938 Rijkbal yang di susun berisi bahwa penduduk yang memiliki tanah garapan dengan wewenang memakai secra turun-temurn diberi hak untuk menggadaikan tanah garapanya. Penggadaian tanah sendiri hanya boleh dilakukan dengan alasan tertentu dan hanya boleh di gadaikan kepada penduduk kasunanan yang sudah lama tinggal di wilayah kasunanan. Sementara untuk melakukan gadai tanah secara adat pemilik hak guna tanah yang akan di gadaikan harus sepengetahuan dari lurah, sesepuh desa atau kepala dusun dan penghulu. Disahkannya gadai tanah akan di bicarakan dan di umumkan oleh penegak adat masing-masing dusun.
Jika perjanjian gadai tanah diadakan tanpa sepangetahuan kepala suku, maka perjanjian itu tidak akan dilindungi secara hukum, dan perbuatan tersebut dianggap tidak sah, tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan si penerima gadai dan dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah gadaian tersebut. Kebanyakan perjanjian gadai tanah dibuat secara tertulis di dalam “akte” yang berisi pernyataan dari pemilik tanah yang menyatakan bahwa dia menjual tanah pertanian atau menggadaikan tanah, beserta nama penjual, batas-batas tanah yang dijual, nama pembeli, harga tanah, perjanjian bahwa tanah dapat ditebus kembali dengan harga sejumlah uang yang sama kala seorang pembeli membayara secara tunah tanah tersebut, dengan di tandatangani oleh kedu belah pihak beserta saksi. Kemudian surat akte diserahkan kepada pembeli gadai.
Tanah sende pada masa lamapau memiliki fungsi sebagai pengikat sosialisasi serta gotongroyong anatar manusia, pada masa colonial sende didasarkan atas hubungan batin atau kekeluargaan dan gotong royong sehingga bebenya masih ringan, kemudian pada masa penjajahan pemerintah colonial lebih ikut campur dalam sende sehingga mengacaukan pola penguasaan tanah yang turun temurun dalam keadaan guyup rukun, pada masa setelah kemerdekaan lembaga hukum adat seperti sende masih tetap ada akan tetapi dengan berubahnya hubungan batin menjadi hubungan pamrih, berdamapak pada melemahnya petani yang semakin meningkat semakain lemah karena tanah garapanya berkurang sedangkan yang membutuhkan semakin banyak. UUPA tahun 1960 adalah undang-undang yang menjadikan petani lebih aman karena transaksi tanah sende diatur dalam PERPU 56 tahun 1960 pasal 7 yang menetapkan bahwa gadai tanah pertanian yang berlangusung 7 tahun atau lebih harus di kembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan.
·         Gadai tanah setelah UUPA
Tanah meupakan satu modal untuk mengatur kebijaksanaan pemerintah yang mantap untuk dimanfaatkan bagi kemajuan ekonominya. Perjanjian gadai tanh umumnya terjadi karena pemilik membutuhkan uang tunai. Apabila ia tidak dapat mencukupi kebutuhannya dengan jalan meminjam uang maka pemilik tanah  akan dengan mudahnya menjadikan tanah miliknya sebagai tanah yang di gadai guna menghidupi kehidupannya sehari-hari. Dalam pengadaian tanah lamanya proses gadai atau pakai sang penerima gadai tergantung pada usah tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan jumlah tahun dan seringkali harga tanah dalam tradisi gadai hanya sejumlah uang yang sesuai dengan kebutuhannya kala itu, tentunya tidak memikirkan efek kedepannya. Maka untuk melindungi golongan petani yang ekonominya lemah, dikeluarkannya undang-undang yang mengatur pertanahan di Indonesia yaitu UUPA tahun 1960. Akhirnya tanggal 24 September 1960 UUPA yang mengatur tentang pertanahan memasukan gadai tanah ke dalam golongan hak-hak yang sifatnya sementara dan secara beransur-angsur akan dihapus dan undang-undang yanag melarang penyerahan hak penguasaaan tanah dengan cara gadai pada pasal 7 tentang penetapan luasa tanah atau lahan pertanaian. Dalam UUPA Pasal 53, menyatakan bahwa gadai tanah, bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian, dalam waktu singkat akan diusahakan untuk menghapusnya karena sifat-sifat daripada hak-hak tersebut bertentangan dengan undnag-undang agrarian nasional karena hak-hak tersebut mengandung unsure pemerasan. Peraturan-peraturan dalam gadai tanah diabaikan, karena belum danya kesadaran hukum karena penduduk merasa jika menetapi aturan-aturan banyak halangannya, denganprosedur yang berbelit-belit, mebuang tenaga, membuang uang atau biaya pengutan-pungutan tambahan dna memakan wkatu yang lama, padahal gadai tanah diadakan karena adanya kebutuhan akan uang tunai secara mendesak yanag harus segera dipenuhi.
C.    KESIMPULAN

Gadai tanah merupakan penjualan semntara waktu yang telah diatur sejak masa hindu budha hingga sekarang. Sejak masa kuno hingga sekarang gadai tanah lebih banayak menggunakan atuaran adat. Dalam perkemangannya di zaman modern gadai tanah tetap diminati masyarakat kerana kemudanhannya tanpa prosedur yang berbelit-belit. Penebusan tanah tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan tanah sehingga seringkali terjadi gadai tanah yang berlangsung berpuluh-puluh tahuna, penggadaian tidak mampu menebus tanahnya, dank arena itu untuk melindungi golongan petani di perlukan undang-undang yang kuat dn mengikat.

Selasa, 09 Februari 2016

kota kuno jerussalem

KOTA JERUSSALEM
A.      Latar Belakang
            Selama ribuan tahun kota Jerusalem merupakan kota ziarah agama samawi: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Mereka berziarah ke Tembok Ratapan untuk para kaum Yahudi, ke Gereja Makam Kristus “Dome of the Rock” bagi para umat Kristen, dan ke Masjid Al-Aqsha bagi para umat Islam. Selain daripada itu banyak sekali konflik yang mewarnai perjalanan sejarah kota ini dan sampai saat ini pun kota ini masih menjadi bahan rebutan bagi Israel dan Palestina. Inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah dari kota tersebut.
B.       Tujuan
            Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan kota Jerusalem dari masa ke masa dan konflik-konflik apa saja yang mewarnainya. Selain daripada itu, makalah ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi para pembaca umumnya mengenai sejarah kota Jerusalem.
C.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan kota Jerusalem dari masa ke masa?
2.      Bagaimana keadaan penduduk kota Jerusalem dari masa ke masa?
3.      Konflik apa saja yang mewarnai perjalanan kota Jerusalem?

PEMBAHASAN
A.      Asal Mula Kota Jerusalem
Disebutkan, bahwa nama Ibrani untuk Jerusalem yakni Yerushalayim, berarti “warisan perdamaian” (dari yerusha yang berarti “warisan”, dan shalom yang berarti damai).[1] Menurut para peneliti, Jerusalem (Ur.Salem), pada awalnya dihuni kaum Yebus. Mereka menempati bukit bernama Ofel. Tapi pada masa 1000 SM, kota ini ditaklukkan oleh Raja Daud. Di Bukit Moriah yang ia beli dari kaum Yebus, didirikan mezbah bagi Allah, lalu memindahkan Tabut Perjanjian ke sana.  Salomon, anak Daud, juga memilih Bukit Moriah sebagai tempat Bait Suci I yang didirikannya pada tahun 950 SM. Sesudah mangkatnya Salomon, kerajaan kesatuan yang berhasil didirikan oleh Daud, pecah menjadi Kerajaan Israel (di sebelah utara) dan Kerajaan Yehuda (di sebelah selatan).[2]
B.       Penduduk Kota Jerusalem
Jerusalem pada saat ini adalah suatu kota dimana penduduknya memeluk banyak kepercayaan; salah satu survei di tahun 2006 mengidentifikasikan 1200 sinagoga, 150 gereja dan 70 masjid di dalam wilayahnya.[3]
C.      Periodisasi dalam Sejarah Kota Jerusalem
§  Zaman Chalcolithic (4.500-3.200 SM) 3500 SM Pemukiman pertama terbentuk.
§  Zaman Perunggu Awal (3.200-2.220 SM) → 2500 SM Perumahan pertama dibentuk.
§  Zaman Perunggu Tengah (2.220-1.550 SM) → 1800 SM Terbentuk tembok kota pertama.
§  Periode Hyksos (1750-1500 SM)
-       1400 SM → Nama Jerusalem muncul dengan nama Urusalim di Surat Amarna.
-       1000 SM → Raja Daud menakhlukan Jerusalem.
-       960 SM → Raja Solomon mendirikan kenizah pertama.
-       931 SM → Pembagian wilayah kerajaan menjadi wilayah Israel dan Judea.
-       721 SM → Kerajaan Asuriah mengalahkan Samaria. Pengungsi melarikan diri ke Jerusalem. Kota berkembang ke arah barat.
-       597 SM → Babilonia mengepung Jerusalem.
-       586 SM → Penghancuran Jerusalem dan kenizah pertama oleh Nebukadnezar dan pengasingan bangsa Yahudi ke Babilonia.
-       539 SM → Kejatuhan Kerajaan Babilonia.
§  Periode Persia (539-332 SM)
-          539 SM → Kerajaan Persia diperintahkan oleh Cyrus yang mengalahkan Babilonia menduduki Jerusalem.
-          537 SM → 50.000 orang Yahudi yang ditawan di Babilonia diizinkan kembali ke Jerusalem atas perintah Raja Cyrus.
-          516 SM → Membangun kenizah kedua dipimpin oleh Zerubbabel.
-          458 SM → Ezra, ahli kitab dari Babilonia memulihkan peraturan.
-          445 SM → Nehemiah menemui gubernur Yude, Artaxerxes, kembali dari Babilonia dan membangun kembali dinding kota. Kota berkembang ke arah timur.
§  Periode Helenistik (332-141 SM)
-       332 SM → Kerajaan Makedonia di bawah Raja Alexaner Agung mengalahkan Darius di Gaugamela dan menduduki Jerusalem setelah mengalahkan Persia.
-       537 SM → Kematian Alexander Agung di Babilonia.
-       164 SM → Judah Makabe menguasai kembali Jerusalem dan memperbaiki kenizah.
§  Periode Hasmonean (141-37 SM) → Jerusalem meluaskan wilayahnya ke arat barat (141 SM).
§  Periode Herodian (37 SM-70)
-       37 SM → Herodes naik tahta, menguasai Jerusalem dan membangun kembali kenizah kedua.
-       70 M → Jerusalem jatuh, kenizah dirusak oleh legiun Romawi pimpinan Titus.
§  Periode Kekaisaran Romawi (70-324 M)
-       70 M → Romawi menjadikan Jerusalem sebagai kota pagan dengan nama Aelia Capitolina dan menumpas bangsa Yahudi di Palestina.
-       63 M → Jendral Romawi Pompey menguasai Jerusalem.
-       135 M → Kaisar Hardian menghancurkan Jerusalem, tembok kota dan kota baru Aelia Capitolina, orang Yahudi tidak diizinkan tinggal di Jerusalem.
§  Periode Byzantium (324-638 M)
-       326 M → Ratu Helena, ibunda Konstatinus Agung mengunjungi Jerusalem dan meminta dibangun Gereja Makam Kristus.
-       438 M → Kaisar Eudocia mengizinkan orang Yahudi untuk kembali ke Jerusalem.
-       614 M → Bangsa Persia mengalahkan Jerusalem, menghancurkan hampir seluruh gereja dan mengusir orang Yahudi.
§  Periode Islam Awal (637-1099 M)
-       637 M → kalifah Omar memasuki Jerusalem dan orang Yahudi diizinkan kembali ke Jerusalem.
-       691 M → Dome of the Rock dibangun oleh kalifah Abdul Al-Malik.
-       705 M → Konstruksi Masjid Al-Aqsa diawali oleh khalifah al-Wahid.
-       1010 M → Khalifah Al Hakim memerintahkan penghancuran sinagoga dan gereja.
§  Periode Perang Salib (1099-1244 M) → Bangsa Frank, dipimpin Godfrey de Bouillon, menguasai Jerusalem. Baldwin I sebagai Raja Jerusalem (1099 M).
§  Periode Ayyubid (1099-1244 M)
-       1187 M → Saladin merebut Jaerusalem dari Pasukan Salib. Saladin mengizinkan Yahudi dan Muslim kembali dan menetap di kota Jerusalem.
-       1219 M → Tembok kota dihancurkan oleh Sultan Malik al-Mu’assam.
§  Periode Mameluk (1250-1516 M) → Mameluk Mesir merebut Jerusalem.
§  Periode Ottoman (1516-1917 M)
-       1517 → Ottoman mengambil alih Jerusalem secara damai.
-       1537-1541 → Sultan Sulaiman membangun tembok kota termasuk 7 pintu gerbang dan Menara Daud. Gerbang Damaskus dibangun tahun 1542.
-       1700 → Rabbi Yehuda He’Hassid datang, mulai membangun Sinagoga Hurva.
-       1838 → Kedutaan pertama (Inggris) dibuka di Jerusalem.
-       1860 → Pemukiman Yahudi pertama di luar tembok kota.
§  Periode Mandat Inggris (1917-1948 M) → Inggris menguasai Palestina setelah megalahkan Kekaisaran Ottoman pada PD I
§  Periode Israel (1948-...)
-       1948 → Negara Israel berdiri setelah mandat Inggris berakhir.
-       1949 →  Jerusalem diresmikan sebagai ibu kota Israel.
-       1967 →  Perang Enam Hari, Israel merebut Kota Tua, Tepi Barat dan Jerusalem timur dari Jordania, Jalur Gaza, dan Gurun Sinai dari Mesir serta dataran tinggi Golan dan Suriah.
-       23 Juni 1967 → Umat Muslim, Kristen, dan Yahudi diberi akses ke tempat suci Jerusalem.
-       1980 → Jerusalem ditetapkan sebagai ibu kota Israel, secara sepihak.
-       1994 → Hubungan timbal balik Israel dan PLO.[4]

D.      Perkembangan Kota Jerusalem dari Masa ke Masa
Di zaman pemerintahan Solomon atau Sulaeman, putra Daud, dibangunlah yang kemudian disebut sebagai Kenizah Pertama. Kenizah itu menjadi pusat aktivitas kultural yang utama di kawasan itu sehingga pada akhirnya mengalahkan pusat-pusat ritual lainnya, seperti di Shilo dan Bethel. Dalam Kitab Raja-raja diceritakan, “Pada tahun keempat setelah Solomon menjadi raja atas Israel, dalam bulan Ziw, yakni bulan yang kedua, Solomon mulai mendirikan rumah bagi Tuhan.[5]
Setelah Solomon meninggal, nasib buruk pun menimpa Jerusalem. Suku-suku di utara memisahkan diri dari raja selatan, yakin yang berpusat di Jerusalem. Mereka mendirikan kerajaan sendiri yang disebut Kerajaan Israel, sedangkan selatan menjadi Kerajaan Yehuda yang lebih kecil. Saat itu, kaum Yahudi tak lagi bersatu. Keadaan seperti itulah yang akhirnya memberi peluang kepada bangsa lain untuk menundukkan mereka.[6]
Sekitar tahun 722 SM, penguasa Assiria, Raja Tiglath-Pileser III, menakhlukkan Kerajaan Israel. Sepuluh suku di bagian utara Israel diusir, dipaksa untuk bergabung dan dengan dasar agama, mereka dimusnahkan. Tragedi juga menimpa Kerajaan Yehuda. Sekitar tahu 589 SM, penguasa Babilonia, yakni Nebukadnesar, menghancurkan Jerusalem. Sebagian besar orang Yahudi pun menjadi tawanan dan dibawa ke Babilonia. Hanya sedikit yang tertinggal, mereka adalah para petani dan orang-orang miskin. Nasib mereka diselamatkan oleh penguasa Persia. Sekitar tahun 538 SM, penguasa Persia, Cyrus Agung, mengalahkan Babilonia dan menguasai Jerusalem. Penguasa Persia ini mengizinkan orang-orang Yahudi untuk pulang kembali ke Jerusalem. Namun, tidak semua orang Yahudi yang ada di Babilonia kembali ke Jerusalem. Ada yang memutuskan untuk menetap di Babilonia. Cyrus Agung juga mengizinkan mereka untuk membangun kembali Kenizah Allah. Kenizah kedua dibangun dan diselesaikan sekitar tahun 516 SM. Setelah itu, Tanah Palestina jatuh ke tangan penguasa Macedonia sekitar tahun 332 SM. Penguasa Macedonia saat itu adalah Alexander III yang disebut jga Alexander Agung. Dari pertemuan dua peradaban Barat dan Timur inilah kemudian lahir akar peradaban baru yang disebut Hellenisme. Baru sekitar tahun 164 SM, Jerusalem menikmati kemerdekaan setelah revolusi Makabe.[7]
Ketika pada akhir Kekaisaran Romawi menguasai Jerusalem pada tahun 63 SM, Kenizah Allah yang dikenal sebagai Kenizah Kedua dibangun kembali oleh Raja Herodes Agung. Menurut cerita, pembangunan kembali kenizah ini membutuhkan waktu sembilan tahun. Bangunannya berukuran dua kali lebih besar dibandingkan dengan kenizah semula dan dikelilingi empat tembok. Tembok bagian barat merupakan tembok yang paling panjang, yakni 485 meter, dan mencakup wilayah doa orang-orang Yahudi yang dikenal sebagai Kotel atau Tembok Barat, yang kemudian juga disebut sebgai Tembok Ratapan.[8]
Bencana besar, seperti yang terjadi ketika Jerusalem ditakhlukan Nabukadnesar, terjadi pada tahun 70 M. Tentara Romawi menakhlukan dan menduduki Jerusalem dalam upaya membasmi pemberontakan Yahudi. Yang lebih menyedihkan bagi orang-orang Israel pada waktu itu adalah dibakarnya Kenizah Allah. Ini kali kedua mereka kehilangan kenizah, tempat kota pagan mereka dan mengubah namanya menjadi Aelia Capitolina, seperti yang sudah di singgung di atas. Pemberian nama baru itu setelah pasukan Romawi berhasil menumpas pemberontakan orang-orang Yahudi yang kerap disebut sebagai Revolusi Bar Kokba (132-135 M), sesuai dengan nama pemimpinnya, Jerusalem menjadi Aelia Capitolina, melainkan juga menumpas bangsa Yahudi di Palestina, terutama setelah jatuhnya Benteng Masada yang terletak di sebelah tenggara Laut Mati.[9]
Awal-awal periode Arab juga dikenal sebagai periode yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen dan Islam dapat hidup berdampingan secara damai dan melaksanakan ibadah mereka tanpa hidup berdampingan secara damai dan melaksanakan ibadah mereka tanpa rintangan dan hambatan. Hal itu sejak awal mula dicontohkan oleh Khalifah Umar. Menurut catatan sejarah, pada tahun 637, setelah mengepung Jerusalem, akhirnya Umar dengan pasukannya masuk ke Jerusalem secara damai setelah menandatangani perjanjian dengan Patriark Elya Al-Quds (Jerusalem) Sophronius. Beberapa tahun sebelumya. Patriark Sophronius telah menyatakan bahwa ia tidak akan menandatangani perjanjian dengan siapapun kecuali dengan Khalifah Umar sendiri. Karena alasan itu, Umar secara pribadi disebut sebagai Perjanjian Umar.[10]
Pada 644, Umar terbunuh, dan penggantinya adalah Utsman, saudara sepupu Muawiyah. Setelah lebih dari sepuluh tahun, Utsman dibenci karena praktik nepotismenya. Ketika dia juga dibunuh, sepupu pertama Nabi, Ali, yang juga menikahi putrinya, Fatimah, dipilih sebagai Amir al-Mukminin. Muawiyah menuntut agar Ali menghukum para pembunuh Utsman, tapi sang Amir menolak. Muawiyah khawatir dia akan kehilangan dominannya di Syria. Dia menang dalam perang saudara, Ali terbunuh di Irak dan di sana berakhirlah pemerintahan terakhir dari apa yang dinamakan Khulapaur Rasyidin.[11]
Babak selanjutnya Jerusalem di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah (661-750) yang berpusat di Damascus. Dengan penguasa pertamanya adalah Mu’awiyah. Catatan yang paling cemerlang Dinasti Umayyah di Jerusalem adalah di zaman khalifah keempat, Abd al-Malik. Pada masa pemerintahannya didirikan Dome of the Rock di Temple Mount, dan putranya al-Walid adalah yang memrakarsai pembangunan Masjid Al-Aqsha yang terletak di ujung selatan Temple Mount. Setelah berakhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah, Jerusalem pun dikuasai oleh Dinasti Abbasiah dimana pada masa itu perhatian terhadap Jerusalem pun semakin berkurang.
Dari tangan Dinasti Abbasiah, Jerusalem jatuh ke tangan Dinasti Fatimiyah, dimana ini menjadi babak yang paling kelam bagi Jerusalem dan sekaligus merupakan tragedi bagi Kota Perdamaian adalah ketika pecah Perang Salib yang pertama kali dikobarkan oleh Paus Urbanus II saat berlangsung Konsili Clermont, 25 November 1095.[12] Perang ini berlangsung amat lama dan memberikan dampak yang sangat besar bagi penduduk Jerusalem.
Situasi dan kondisi Jerusalem naik-turun seiring berganti-gantinya pemerintahan. Keadaan di Jerusalem mulai membaik saat Dinasti Ottoman menguasai Jerusalem. Pembangunan kembali teombok-tembok kota yang telah dihancurkan sebelumnya yang kini dikenal dengan sebutan Kota Lama. Pada penguasaan dinasti ini ada kedamaian beragama, yakni Yahudi, Kristen dan Islam menikmati kebebasan beragama.
Akan tetapi nasib Jerusalem selalu berulang. Ia kembali terjerumus delam kenestapaan. Ini disebabkan oleh penarikan pajak pertanian kepada orang yang bukan penduduk kota dan para pejabatnya. Akhirnya, pada 9 Desember 1917, Inggris menduduki Jersalem di bawah pimpinan Jendral Edmund Allenby. Pada tahun yang sama, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour memberikan isyarat kepada seorang Zionis kaya dan berpengaruh, Lord Rothschild, bahwa pemerintah Inggris mendukung terbentuknya sebuah homeland bagi Yahudi di Palestina. Dari sinilah kemudian persoalan bermula dan berlangsung hingga sekarang.[13]
Inggris menguasai Jerusalem tahun 1917-1948. Tahun 1949, Israel yang baru saja merdeka menguasai Jerusalem Barat dan pada tahun 1967 mencaplok Jerusalem Timur atau Kota Lama yang sebelumnya dikuasai Yordania. Yordania berkuasa atas Jerusalem mulai 1948 hingga 1967. Sejak itulah, isak tangis dan gemertak gigi terus terdengar di Kota Tuhan itu. [14]
E.       Pembagian Wilayah Kota Jerusalem
            Kota Jerusalem dibagi menjadi empat wilayah, yaitu Wilayah Yahudi, Wilayah Kristen, Wilayah Armenia, dan Wilayah Muslim. Pemberian nama wilayah didasarkan pada afiliasi etnis sebagian besar orang yang tinggal di wilayah tersebut. Garis yang memisahkan keempat wilayah tersebut adalah jalan yang membentang mulai dari pintu Gerbang Damascus hingga Pintu Gerbang Zion yang membelah kota itu menjadi wilayah timur dan barat dan jalan yang bermula dari Pintu Gerbang Jaffa ke Pintu Gerbang Singa, yang membagi kota itu menjadi wilayah utara dan selatan. [15]
Semenjak tahun 1967, Yerusalem tetap berada di dalam kendali administrasi Israel. Walaupun begitu ketegangan-ketegangan tetap ada di kota yang penduduknya sangat padat ini, yaitu dengan perkiraan populasi diatas 700,000. Sekitar 32 persen dari penduduk kota adalah Muslim Arab, yang sering berkonflik dengan 65% penduduk kota yang adalah Yahudi.[16]
F.        Infrastruktur Kota Jerusalem abad ke 19
Pada permulaan abad ke 19 populasi kota Jerusalem hanya sekitar 8.000 jiwa. Jumlah ini meningkat pesat pada tahun 1860 yang didominasi oleh warga Yahudi pendatang. Hal itu mengakibatkan Jerusalem melakukan pembangunan infrastruktur yang pesat, sehingga tanah-tanah warga Palestina mulai dibeli para tuan tanah berkebangsaan Arab, tergiur oleh uang untuk melelang tanah mereka kepada pendatang Yahudi. Dalam waktu singkat, populasi Yahudi pendatang ini mulai membangun kompleks perumahan didekat Gerbang Zion, di sisi tembok sebelah barat Bait al-Maqdis. Perumahan ini segera meluas sampai ke lembah Hinnom dan diberi nama Mish Kenot Sha’ananim.
Proyek perumahan kedua kaum Yahudi, Nahlat Shiva, diresmikan tahun 1869, lalu disusul proyek perumahan Mea Shearim (1873-1875) dan Yemin Moshe (1892). Pada tahun 1898, Theodore Herzl mengadakan pertemuan resmi dengan Kaisar Wilhelm di luar kota Jeusalem yang menandakan semakin kuatnya lobi-lobi internasional kaum Zionis.[17]





PENUTUP

Kesimpulan
Jerusalem dari masa ke masa mengalami perkembangan yang sangat menarik untuk dipelajari. Kota ini merupakan kota kuno dan kepemilikannya pun selalu berpindah-pindah, pada awalnya kota ini hanya kota biasa namun seiring berjalannya waktu dan banyaknya peristiwa yang mewarnai perjalanannya kini kota ini menjadi rebutan.    
Jerusalem merupakan Kota Suci Tiga Agama, kota ini merupakan tempat lahirnya 2 agama besar yakni Yahudi dan Nasrani, selain itu juga menjadi kota yang penting bagi umat muslim karena berkaitan dengan peristiwa Isra Mi’raj. Konflik-konflik yang mewarnai kota ini sampai sekarang masih berlanjut akibat adanya rasa ingin menguasai dan perasaan dendam.
Masalah kepemilikan kota ini hingga saat ini masih menjadi suatu perdebatan. Wilayah bagian barat kota ini menjadi hak milik negara Israel dan wilayah bagian timur kota ini menjadi hak miliknya negara Palestina.



DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Abu Aiman,  2007, Rahasia di Balik Penggalian Al Aqsha, Jakarta: Ufuk Press.
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas.
Machiavelli, Niccolo, 1987, Sang Penguasa, Jakarta: Gramedia
Sebag, Simon Montefiore, 2012, Jerusalem The Biography”, Jakarta: Pustaka Alvabet.
Trias Kuncahyono, 2008, Jerusalem “Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir”, Jakarta: Kompas Media Nusantara.


[1]  Trias Kuncahyono, Jerusalem “Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir”, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), hlm xxiii.

[2]  Evert Sandye Taasiringan, Yerusalem Kota Suci Tiga Agama, http://ampipolis.blogspot.com, Diposkan Jumat, 21 Desember 2012.


[3]  Living Church of God Indonesia, Masa Depan Yerusalem, http://www.indolcg.org/index.php/magz/index/0705, Mei-Juni 2007.

[4]  Trias Kuncahyono, Jerusalem “Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir”, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), hlm ix-xii.
[5]  Ibid., hlm 145-146.
[6] Ibid., hlm 146.
[7] Ibid., hlm 146-147.
[8] Ibid., hlm 147.
[9]   Ibid., hlm 147.
[10]  Ibid., hlm 150.
[11]   Sebag, Simon Montefiore, Jerusalem The Biography”, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), hlm 228.
[12]   Opcit., hlm 155-156.
[13]    Ibid., hlm 160.
[14]    Ibid., hlm 160-161.
[15]    Ibid., hlm 190.
[16]    Living Church of God Indonesia, Masa Depan Yerusalem, http://www.indolcg.org/index.php/magz/index/0705, Diposkan Mei-Juni 2007.
[17]  Abu Aiman, Rahasia di Balik Penggalian Al Aqsha, (Jakarta: Ufuk Press, 2007), hlm 87-88.